ass...Pengumuman...Pentiiiing!!!!!
heheh bagi kawan2 dan smua keluarga besar Perlintan, yang ingin begabung di kepengurusan, Plant Protection Center merekrut anggota dengan syarat :
1. BKI PERLINTAN angkatan 2008-2009
2. Telah mengikuti PLT-PM
3. Lampirkan CV lengkap dan pas photo 3x4 (2 lembar)
4. Bersedia mengikuti prosedur penyeleksian
5. Bersedia ditempatkan diposisi manapun
bagi yang berminat silahkan melengkapi persyaratan di sekre Plant Protection Center, lnt 2 jurusan HPT.
hahahhhhhhhhhhaaaaaaaaaaaaa...just kidding:::
Maus.ksM
Minggu, 22 April 2012
Senin, 19 Desember 2011
Sifat Kimia Tanah
pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. Ia didefinisikan sebagai kologaritma aktivitas ion hidrogen (H+) yang terlarut. Koefisien aktivitas ion hidrogen tidak dapat diukur secara eksperimental, sehingga nilainya didasarkan pada perhitungan teoritis. Skala pH bukanlah skala absolut. Ia bersifat relatif terhadap sekumpulan larutan standar yang pH-nya ditentukan berdasarkan persetujuan internasional.[1]
Konsep pH pertama kali diperkenalkan oleh kimiawan Denmark Søren Peder Lauritz Sørensen pada tahun 1909. Tidaklah diketahui dengan pasti makna singkatan "p" pada "pH". Beberapa rujukan mengisyaratkan bahwa p berasal dari singkatan untuk powerp[2] (pangkat), yang lainnya merujuk kata bahasa Jerman Potenz (yang juga berarti pangkat)[3], dan ada pula yang merujuk pada kata potential. Jens Norby mempublikasikan sebuah karya ilmiah pada tahun 2000 yang berargumen bahwa p adalah sebuah tetapan yang berarti "logaritma negatif"[4].
Air murni bersifat netral, dengan pH-nya pada suhu 25 °C ditetapkan sebagai 7,0. Larutan dengan pH kurang daripada tujuh disebut bersifat asam, dan larutan dengan pH lebih daripada tujuh dikatakan bersifat basa atau alkali. Pengukuran pH sangatlah penting dalam bidang yang terkait dengan kehidupan atau industri pengolahan kimia seperti kimia, biologi, kedokteran, pertanian, ilmu pangan, rekayasa (keteknikan), dan oseanografi. Tentu saja bidang-bidang sains dan teknologi lainnya juga memakai meskipun dalam frekuensi yang lebih rendah.
http://id.wikipedia.org/wiki/PH
REAKSI
TANAH (pH)*
Pada umumnya reaksi tanah baik tanah
gambut maupun tanah mineral menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah
yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion
Hidrogen (H+) di dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H+ di dalam tanah, semakin
masam tanah tersebut. Di dalam tanah selain H+ dan ion‑ion lain ditemukan pula
ion OH-, yang jumlahnya sebanding dengan banyaknya H+. Pada tanah‑tanah masam
jumlah ion H+ lebih tinggi daripada OH-. Sedangkan pada tanah alkalis kandungan
OH- lebih banyak daripada H+. Bila kandungan H+ sama dengan OH- maka tanah
bereaksi netral yaitu mempunyai pH 7.
Bila tanah terlalu asam atau terlalu basa maka tanaman akan tumbuh kurang sempurna sekalipun masih bisa tumbuh dan menghasilkan buah. Memang ada beberapa tanaman tertentu yang senang di tanah asam ataupun basa. Ketersediaan unsur hara makro di dalam tanah ini sedikit sedangkan hara mikro seperti Besi dan Aluminium tinggi. Hal ini mengakibatkan tanaman kekurangan hara dan keracunan.
Salah satu upaya yang ditempuh dalam upaya meningkatkan dan memperbaiki lahan masam adalah dengan menurunkan keasaman dan meningkatkan kejenuhan basa yang diperoleh dengan pemberian kapur serta pemupukan. Dengan adanya peningkatan kejenuhan basa, maka pH tanah naik dan unsur hara relatif lebih mudah tersedia.
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengatahui lebih jauh mengenai pengertian reaksi tanah, faktor yang mempengaruhi kemasaman, sifat kemasaman tanah, menentukan kemasaman tanah dan pengapuran.
Pengertian Reaksi Tanah
Reaksi tanah merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan reaksi asam atau basa dalam tanah. Sejumlah proses dalam tanah dipengaruhi oleh reaksi tanah dan biokimia tanah yang berlansung spesifik. Pengaruh lansung terhadap laju dekomposisi mineral tanah dan bahan organik, pembentukan mineral lempung bahkan pertumbuhan tanaman. Pengaruh tidak lansungnya terhadap kelarutan dan ketersediaan hara tanaman. sebagai contoh perubahan konsentrasi fosfat dengan perubahan pH tanah. Konsentrasi ion H+ yang tinggi bisa meracun bagi tanaman.
Secara teoritis, angka pH berkisar antara 1 sampai 14. Angka satu berarti kepekatan ion hidrogen di dalam tanah ada 10 ‑ 1 atau 1/10 gmol/l. Tanah pada kepekatan ini sangat asam. Sementara angka 14 berarti kepekatan ion hidrogennya 10‑14 gmol/l. Tanah pada angka kepekatan ini sangat basa.
Tanah‑tanah yang ada di Indonesia sangat bervariasi tingkat keasamannya. Ada tanah yang masam seperti Podsolik Merah Kuning, dan latosol Tanah yang alkalis seperti Mediteran Merah Kuning dan Grumosol. Bagi tanah - tanah yang bereaksi masam, seringkali tidak atau kurang sesuai bagi pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu pada tanah‑tanah demikian sering dilakukankan pengapuran (liming). bahan- bahan yang digunakan untuk menaikkan pH tanah yang bereaksi masam menjadi mendekati netral dengan harga pH sekitar 6,5.
Faktor Yang Mempengaruhi Kemasaman
Keasaman tanah ditentukan oleh kadar atau kepekatan ion hidrogen di dalarn tanah tersebut. Bila kepekatan ion hidrogen di dalam tanah terlalu tinggi maka tanah akan bereaksi asam. Sebaliknya, bila kepekatan ion hidrogen terIalu rendah maka tanah akan bereaksi basa. Pada kondisi ini kadar kation OH‑ lebih tinggi dari ion H+.
Tanah masam adalah tanah dengan pH rendah karena kandungan H+ yang tinggi. Pada tanah masam lahan kering banyak ditemukan ion Al3+ yang bersifat masam karena dengan air ion tersebut dapat menghasilkan H+. Dalarn keadaan tertentu, yaitu apabila tercapai kcjenuhan ion Al3+ tertentu, terdapat juga ion Al-hidroksida dengan cara sebagai berikut :
Al3+ + 3H2O ----- Al(OH)2+ + H+
Al3+ + OH- ----- Al(OH)2+
dengan demikian dapat menimbulkan variasi kemasaman tanah.
Di daerah rawa‑tawa, tanah masam umumnya disebabkan oleh kandungan asam sulfat yang tinggi. Di daerah ini sering ditemukan tanah sulfat masam karena mengandung, lapisan cat clay yang menjadi sangat masarn bila rawa dikeringkan akibat sulfida menjadi sulfat.
Kebanyakan partikel lempung berinteraksi dengan ion H+. Lempung jenuh hidrogen mengalami dekomposisi spontan. Ion hidrogen menerobos lapisan oktahedral dan menggantikan atom Al. Aluminium yang dilepaskan kemudian dijerap oleh kompleks lempung dan suatu kompleks lempung-Al‑H terbentuk dengan cepat ion. Al3+ dapat terhidrolisis dan menghasilkan ion H+:
H
lempung - Al3+ + 3H2O ---- Al(OH)3 + H-- lempung - = H+
H
Reaksi tersebut menyumbang pada peningkatan konsentrasi ion H+ dalam tanah.
Sumber keasaman atau yang berperan dalam menentukan keasaman pada tanah gambut adalah pirit (senyawa sulfur) dan asam‑asam organik. Tingkat keasaman gambut mempunyai kisaran yang sangat lebar. Keasaman tanah gambut cendrung semakin tinggi jika gambut semakin tebal. Asam‑asam organik yang tanah gambut terdiri dari atas asam humat, asam fulvat, dan asam humin. Pengaruh pirit yaitu pada oksida pirit yang akan menimbulkan keasaman tanah hingga mencapai pH 2 ‑ 3. Pada keadaan ini hampir tidak ada tanaman budidaya yang dapat tumbuh baik. Selain menjadi penghambat pertumbuhan tanaman, pirit menyebabkan terjadinya karatan (corrosion) sehingga mempercepat kerusakan alat‑alat pertanian yang terbuat dari logam.
Sifat Kemasaman Tanah
Terdapat dua jenis reaksi tanah atau kemasaman tanah, yakni kernasaman (reaksi tanah) aktif dan potensial. Reaksi tanah aktif ialah yang diukurnya konsentrasi hidrogen yang terdapat bebas dalam larutan tanah. Reaksi tanah inilah yang diukur pada pemakaiannya sehari‑hari. Reaksi tanah potensial ialah banyaknya kadar hidrogen dapat tukar baik yang terjerap oleh kompleks koloid tanah maupun yang terdapat dalam larutan.
Sejumlah senyawa menyumbang pada pengembangan reaksi tanah yang asam atau basa. Asam‑asam organik dan anorganik, yang dihasilkan oleh penguraian bahan organik tanah , merupakan konstituen tanah yang umum dapat mempengaruhi kemasaman tanah. Respirasi akar tanaman menghasilkan C02 yang akan membentuk H2CO3 dalam air. Air merupakan sumber lain dari sejumlah kecil ion H+. Suatu bagian yang besar dari ion‑ion H+ yang dapat dipertukarkan
H
H---Lempung = H+
H
Ion‑ion H+ tertukarkan tersebut berdisosiasi menjadi ion‑ion H+ bebas. Dcrajat ionisasi dan disosiasi ke dalam larutan tanah menentukan khuluk kemasaman tanah. Ion‑ion H+ yang dapat dipertukarkan merupakan penyebab terbentuknya kemasaman tanah potensial atau cadangan. Besaran dari kemasaman potensial ini dapat ditentukan dengan titrasi tanah. Ion‑ion H+ bebas menciptakan kemasaman aktif. Kemasaman aktif diukur dan dinyatakan sebagai pH tanah. Tipe kemasaman inilah yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Menentukan Kemasaman Tanah
Ada beberapa alat ukur reaksi tanah yang dapat digunakan. Alat yang murah ialah kertas lakmus yang bentuknya berupa gulungan kertas kecil memanjang. Alat lain yang harganya sedikit mahal tetapi dapat dipakai berulang kali dengan hasil pengukuran lebih terjamin adalah pH tester dan soil tester.
Pemakaian kertas lakmus sangat mudah, caranya yaitu : mengambil tanah lapisan dalam, lalu larutkan dengan air murni (aquadest) dalam wadah. Biarkan tanahnya terendam di dasar wadah sehingga airnya menjadi bening kembali. Setelah bening, air tersebut dipindahkan ke wadah lain secara hati‑hati agar tidak keruh. Selanjutnya, ambil sedikit kertas lakmus dan celupkan ka dalam air tersebut. Dalam beberapa saat kertas lakmus akan berubah warna. Cocokan warna pada kertas lakmus dengan skala yang ada pada kemasan kertas lakmus. Skala tersebut telah dilengkapi dengan angka pH masing‑masing Warna. Angka pH tanah tersebut adalah angka dari warna pada kemasan yang cocok dengan warna kertas lakmus Misalnya, angka yang cocok adalah 6 maka pH‑nya 6.
Pemakaian soil tester untuk mendapat pH tanah agak berbeda dengan kertas lakmus. Bentuknya seperti pahat dan berukuran pendek. Oleh karena berbentuk padatan, ada bagian yang runcing. Bagian runcing inilah yang ditancapkan ke tanah hingga pada batas yang dianjurkan. Setelah ditancapkan, sekitar tiga menit kernudian jarum skala yang terletak di bagian atas alat ini akan bergerak. Angka yang ditunjukkan jarum tersebut merupakan pH dari tanah tersebut.
Pemakaian pH tester lebih sederhana dan soil tester penggunaannya untuk megukur nilai pH tanah di lahan yang tidak terlalu luas, sekitar 1‑2 ha. Walaupun demikian, alat ini masih bisa diandalkan. Bagian yang menunjukkan angka pH berbentuk kotak dengan jarum penunjuk angka. Bagian kotak tersebut dihubungkan dengan besi sepanjang 25 cm yang ujungnya runcing dan dilapisi logam elektroda. Besi inilah vang ditancapkan ke tanah. Jumlah besi bisa 1‑2 buah.
Penetapan pH tanah sekarang ini dilakukan dengan elektroda kaca. Elektroda ini terdiri dari suatu bola kaca tipis yang berisi HCL. encer, dan di dalamnya disisipkan kawat Ag‑AgCl, yang berfungsi sebagai elektrodanya dengan tegangan (voltase) tetap. Pada waktu bola kaca tersebut itu dicelupkan ke dalam suatu larutan, timbul suatu perbedaan antara larutan di dalam bola dan larutan tanah di luar bola kaca. Sebelum pengukuran pH dilakukan, kedua elektroda pertama‑tama harus dimasukkan ke dalam suatu larutan yang diketahui pH‑nya (misalnya konsentrasi ion H+ = 1 g/L). Kegiatan ini disebut pembakuan elektroda dan petunjuk pH (pH meter).
Dalam pengukuran pH, elektroda acuan dan elektroda indikator dicelupkan ke dalam suspensi tanah yang heterogen yang terdiri atas partikel‑partikel padat terdispersi dalam suatu larutan aquadest. Jika partikel‑partikel padat dibiarkan mengendap, pH dapat diukur dalam cairan supernatant atau dalam endapan (sedimen). Penempatan pasangan elektroda dalam supernatant biasanya memberikan bacaan pH yang lebih tinggi dari pada penempatan dalam sedimen. Perbedaan dalam bacaan pH ini disebut pengaruh suspensi. Pengadukan suspensi tanah sebelum pengukuran tidak akan memecahkan masalah tersebut, karena prosedur ini memberikan bacaan yang tidak stabil.
Bila tanah terlalu asam atau terlalu basa maka tanaman akan tumbuh kurang sempurna sekalipun masih bisa tumbuh dan menghasilkan buah. Memang ada beberapa tanaman tertentu yang senang di tanah asam ataupun basa. Ketersediaan unsur hara makro di dalam tanah ini sedikit sedangkan hara mikro seperti Besi dan Aluminium tinggi. Hal ini mengakibatkan tanaman kekurangan hara dan keracunan.
Salah satu upaya yang ditempuh dalam upaya meningkatkan dan memperbaiki lahan masam adalah dengan menurunkan keasaman dan meningkatkan kejenuhan basa yang diperoleh dengan pemberian kapur serta pemupukan. Dengan adanya peningkatan kejenuhan basa, maka pH tanah naik dan unsur hara relatif lebih mudah tersedia.
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengatahui lebih jauh mengenai pengertian reaksi tanah, faktor yang mempengaruhi kemasaman, sifat kemasaman tanah, menentukan kemasaman tanah dan pengapuran.
Pengertian Reaksi Tanah
Reaksi tanah merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan reaksi asam atau basa dalam tanah. Sejumlah proses dalam tanah dipengaruhi oleh reaksi tanah dan biokimia tanah yang berlansung spesifik. Pengaruh lansung terhadap laju dekomposisi mineral tanah dan bahan organik, pembentukan mineral lempung bahkan pertumbuhan tanaman. Pengaruh tidak lansungnya terhadap kelarutan dan ketersediaan hara tanaman. sebagai contoh perubahan konsentrasi fosfat dengan perubahan pH tanah. Konsentrasi ion H+ yang tinggi bisa meracun bagi tanaman.
Secara teoritis, angka pH berkisar antara 1 sampai 14. Angka satu berarti kepekatan ion hidrogen di dalam tanah ada 10 ‑ 1 atau 1/10 gmol/l. Tanah pada kepekatan ini sangat asam. Sementara angka 14 berarti kepekatan ion hidrogennya 10‑14 gmol/l. Tanah pada angka kepekatan ini sangat basa.
Tanah‑tanah yang ada di Indonesia sangat bervariasi tingkat keasamannya. Ada tanah yang masam seperti Podsolik Merah Kuning, dan latosol Tanah yang alkalis seperti Mediteran Merah Kuning dan Grumosol. Bagi tanah - tanah yang bereaksi masam, seringkali tidak atau kurang sesuai bagi pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu pada tanah‑tanah demikian sering dilakukankan pengapuran (liming). bahan- bahan yang digunakan untuk menaikkan pH tanah yang bereaksi masam menjadi mendekati netral dengan harga pH sekitar 6,5.
Faktor Yang Mempengaruhi Kemasaman
Keasaman tanah ditentukan oleh kadar atau kepekatan ion hidrogen di dalarn tanah tersebut. Bila kepekatan ion hidrogen di dalam tanah terlalu tinggi maka tanah akan bereaksi asam. Sebaliknya, bila kepekatan ion hidrogen terIalu rendah maka tanah akan bereaksi basa. Pada kondisi ini kadar kation OH‑ lebih tinggi dari ion H+.
Tanah masam adalah tanah dengan pH rendah karena kandungan H+ yang tinggi. Pada tanah masam lahan kering banyak ditemukan ion Al3+ yang bersifat masam karena dengan air ion tersebut dapat menghasilkan H+. Dalarn keadaan tertentu, yaitu apabila tercapai kcjenuhan ion Al3+ tertentu, terdapat juga ion Al-hidroksida dengan cara sebagai berikut :
Al3+ + 3H2O ----- Al(OH)2+ + H+
Al3+ + OH- ----- Al(OH)2+
dengan demikian dapat menimbulkan variasi kemasaman tanah.
Di daerah rawa‑tawa, tanah masam umumnya disebabkan oleh kandungan asam sulfat yang tinggi. Di daerah ini sering ditemukan tanah sulfat masam karena mengandung, lapisan cat clay yang menjadi sangat masarn bila rawa dikeringkan akibat sulfida menjadi sulfat.
Kebanyakan partikel lempung berinteraksi dengan ion H+. Lempung jenuh hidrogen mengalami dekomposisi spontan. Ion hidrogen menerobos lapisan oktahedral dan menggantikan atom Al. Aluminium yang dilepaskan kemudian dijerap oleh kompleks lempung dan suatu kompleks lempung-Al‑H terbentuk dengan cepat ion. Al3+ dapat terhidrolisis dan menghasilkan ion H+:
H
lempung - Al3+ + 3H2O ---- Al(OH)3 + H-- lempung - = H+
H
Reaksi tersebut menyumbang pada peningkatan konsentrasi ion H+ dalam tanah.
Sumber keasaman atau yang berperan dalam menentukan keasaman pada tanah gambut adalah pirit (senyawa sulfur) dan asam‑asam organik. Tingkat keasaman gambut mempunyai kisaran yang sangat lebar. Keasaman tanah gambut cendrung semakin tinggi jika gambut semakin tebal. Asam‑asam organik yang tanah gambut terdiri dari atas asam humat, asam fulvat, dan asam humin. Pengaruh pirit yaitu pada oksida pirit yang akan menimbulkan keasaman tanah hingga mencapai pH 2 ‑ 3. Pada keadaan ini hampir tidak ada tanaman budidaya yang dapat tumbuh baik. Selain menjadi penghambat pertumbuhan tanaman, pirit menyebabkan terjadinya karatan (corrosion) sehingga mempercepat kerusakan alat‑alat pertanian yang terbuat dari logam.
Sifat Kemasaman Tanah
Terdapat dua jenis reaksi tanah atau kemasaman tanah, yakni kernasaman (reaksi tanah) aktif dan potensial. Reaksi tanah aktif ialah yang diukurnya konsentrasi hidrogen yang terdapat bebas dalam larutan tanah. Reaksi tanah inilah yang diukur pada pemakaiannya sehari‑hari. Reaksi tanah potensial ialah banyaknya kadar hidrogen dapat tukar baik yang terjerap oleh kompleks koloid tanah maupun yang terdapat dalam larutan.
Sejumlah senyawa menyumbang pada pengembangan reaksi tanah yang asam atau basa. Asam‑asam organik dan anorganik, yang dihasilkan oleh penguraian bahan organik tanah , merupakan konstituen tanah yang umum dapat mempengaruhi kemasaman tanah. Respirasi akar tanaman menghasilkan C02 yang akan membentuk H2CO3 dalam air. Air merupakan sumber lain dari sejumlah kecil ion H+. Suatu bagian yang besar dari ion‑ion H+ yang dapat dipertukarkan
H
H---Lempung = H+
H
Ion‑ion H+ tertukarkan tersebut berdisosiasi menjadi ion‑ion H+ bebas. Dcrajat ionisasi dan disosiasi ke dalam larutan tanah menentukan khuluk kemasaman tanah. Ion‑ion H+ yang dapat dipertukarkan merupakan penyebab terbentuknya kemasaman tanah potensial atau cadangan. Besaran dari kemasaman potensial ini dapat ditentukan dengan titrasi tanah. Ion‑ion H+ bebas menciptakan kemasaman aktif. Kemasaman aktif diukur dan dinyatakan sebagai pH tanah. Tipe kemasaman inilah yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Menentukan Kemasaman Tanah
Ada beberapa alat ukur reaksi tanah yang dapat digunakan. Alat yang murah ialah kertas lakmus yang bentuknya berupa gulungan kertas kecil memanjang. Alat lain yang harganya sedikit mahal tetapi dapat dipakai berulang kali dengan hasil pengukuran lebih terjamin adalah pH tester dan soil tester.
Pemakaian kertas lakmus sangat mudah, caranya yaitu : mengambil tanah lapisan dalam, lalu larutkan dengan air murni (aquadest) dalam wadah. Biarkan tanahnya terendam di dasar wadah sehingga airnya menjadi bening kembali. Setelah bening, air tersebut dipindahkan ke wadah lain secara hati‑hati agar tidak keruh. Selanjutnya, ambil sedikit kertas lakmus dan celupkan ka dalam air tersebut. Dalam beberapa saat kertas lakmus akan berubah warna. Cocokan warna pada kertas lakmus dengan skala yang ada pada kemasan kertas lakmus. Skala tersebut telah dilengkapi dengan angka pH masing‑masing Warna. Angka pH tanah tersebut adalah angka dari warna pada kemasan yang cocok dengan warna kertas lakmus Misalnya, angka yang cocok adalah 6 maka pH‑nya 6.
Pemakaian soil tester untuk mendapat pH tanah agak berbeda dengan kertas lakmus. Bentuknya seperti pahat dan berukuran pendek. Oleh karena berbentuk padatan, ada bagian yang runcing. Bagian runcing inilah yang ditancapkan ke tanah hingga pada batas yang dianjurkan. Setelah ditancapkan, sekitar tiga menit kernudian jarum skala yang terletak di bagian atas alat ini akan bergerak. Angka yang ditunjukkan jarum tersebut merupakan pH dari tanah tersebut.
Pemakaian pH tester lebih sederhana dan soil tester penggunaannya untuk megukur nilai pH tanah di lahan yang tidak terlalu luas, sekitar 1‑2 ha. Walaupun demikian, alat ini masih bisa diandalkan. Bagian yang menunjukkan angka pH berbentuk kotak dengan jarum penunjuk angka. Bagian kotak tersebut dihubungkan dengan besi sepanjang 25 cm yang ujungnya runcing dan dilapisi logam elektroda. Besi inilah vang ditancapkan ke tanah. Jumlah besi bisa 1‑2 buah.
Penetapan pH tanah sekarang ini dilakukan dengan elektroda kaca. Elektroda ini terdiri dari suatu bola kaca tipis yang berisi HCL. encer, dan di dalamnya disisipkan kawat Ag‑AgCl, yang berfungsi sebagai elektrodanya dengan tegangan (voltase) tetap. Pada waktu bola kaca tersebut itu dicelupkan ke dalam suatu larutan, timbul suatu perbedaan antara larutan di dalam bola dan larutan tanah di luar bola kaca. Sebelum pengukuran pH dilakukan, kedua elektroda pertama‑tama harus dimasukkan ke dalam suatu larutan yang diketahui pH‑nya (misalnya konsentrasi ion H+ = 1 g/L). Kegiatan ini disebut pembakuan elektroda dan petunjuk pH (pH meter).
Dalam pengukuran pH, elektroda acuan dan elektroda indikator dicelupkan ke dalam suspensi tanah yang heterogen yang terdiri atas partikel‑partikel padat terdispersi dalam suatu larutan aquadest. Jika partikel‑partikel padat dibiarkan mengendap, pH dapat diukur dalam cairan supernatant atau dalam endapan (sedimen). Penempatan pasangan elektroda dalam supernatant biasanya memberikan bacaan pH yang lebih tinggi dari pada penempatan dalam sedimen. Perbedaan dalam bacaan pH ini disebut pengaruh suspensi. Pengadukan suspensi tanah sebelum pengukuran tidak akan memecahkan masalah tersebut, karena prosedur ini memberikan bacaan yang tidak stabil.
Kesimpulan
Reaksi tanah menunjukkan keasaman dan kebasaan tanah dan dinyatakan sebagai pH. Keasaman tanah ditentukan oleh kadar atau kepekatan ion hidrogen yang beredar di dalam tanah tersebut. Bila kepekatan ion hidrogen (H+ ) di dalam tanah tinggi maka tanah disebut asam Sebaliknya, bila kepekatan ion hidrogen terlalu rendah maka tanali disebut basa. Pada kondisi ini kadar kation OH‑ lebih tinggi dari H+.
Reaksi tanah dibedakan menjadi kemasaman (reaksi tanah) aktif dan potensial. Reaksi tanah aktif ialah yang diukurnya konsentrasi hidrogen yang terdapat bebas dalam larutan tanah. Reaksi tanah potensial ialah banyaknya kadar hidrogen dapat tukar baik yang terjerap oleh kompleks koloid tanah maupun yang terdapat dalarn larutan.
Tanah masam karena kandungan H+ yang tinggi dan banyak ion AL3+ yang bersifat masam karena dengan air ion tersebut dapat menghasilkan H+. Di daerah rawa‑rawa atau tanah gambut, tanah masam umumnya disebabkan oleh kandungan asam sulfat yang tinggi.
Pengapuran merupakan salah satu cara untuk memperbaiki tanah yang bereaksi asam atau basa. Tujuan dari pengapuran adalah untuk menaikkan pH tanah sehingga karenanya unsur‑unsur hara menjadi lebih tersedia, memperbaiki struktur tanahnya sehingga kehidupan organisme dalam tanah lebih giat, dan menurunkan kelarutan zat‑zat yang sifatnya meracuni tanaman dan unsur lain tidak banyak terbuang.
Reaksi tanah menunjukkan keasaman dan kebasaan tanah dan dinyatakan sebagai pH. Keasaman tanah ditentukan oleh kadar atau kepekatan ion hidrogen yang beredar di dalam tanah tersebut. Bila kepekatan ion hidrogen (H+ ) di dalam tanah tinggi maka tanah disebut asam Sebaliknya, bila kepekatan ion hidrogen terlalu rendah maka tanali disebut basa. Pada kondisi ini kadar kation OH‑ lebih tinggi dari H+.
Reaksi tanah dibedakan menjadi kemasaman (reaksi tanah) aktif dan potensial. Reaksi tanah aktif ialah yang diukurnya konsentrasi hidrogen yang terdapat bebas dalam larutan tanah. Reaksi tanah potensial ialah banyaknya kadar hidrogen dapat tukar baik yang terjerap oleh kompleks koloid tanah maupun yang terdapat dalarn larutan.
Tanah masam karena kandungan H+ yang tinggi dan banyak ion AL3+ yang bersifat masam karena dengan air ion tersebut dapat menghasilkan H+. Di daerah rawa‑rawa atau tanah gambut, tanah masam umumnya disebabkan oleh kandungan asam sulfat yang tinggi.
Pengapuran merupakan salah satu cara untuk memperbaiki tanah yang bereaksi asam atau basa. Tujuan dari pengapuran adalah untuk menaikkan pH tanah sehingga karenanya unsur‑unsur hara menjadi lebih tersedia, memperbaiki struktur tanahnya sehingga kehidupan organisme dalam tanah lebih giat, dan menurunkan kelarutan zat‑zat yang sifatnya meracuni tanaman dan unsur lain tidak banyak terbuang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Kimia Tanah
Kemasaman
tanah yang digunakan dalam penelitian beragam dari agak masam sampai sangat
masam dengan pH-H2O (1:2,5) dan pH KCl (1:2,5) antara 4,00 sampai 5,15 (R2)
dan 2,30 sampai 2,52 (R4). Semakin reaktif sifat reaksi tanah semakin masam.
Reaktifitas tanah yang kuat menunjukan kadar pirit yang tinggi.
Jumat, 25 November 2011
kumbang pertanian, BT, dan PHT
semangat apa yang telah engkau tanamkan???
kaU mencoba kritis dengan ketidak mampuanmu???
sebelum kau mau merubah sesuatu bangunlah kekuatan terlebih dahulu dalam dirimu...
jangan engkau menggapai bintang dengan lukisan yang telah ternoda...
kaU tidak akan mengerti, jika kaU bukan orang yang peka...
miskin bukan pilihan, perjuangan baru dimulai, tapi siapa yang memberi jaminan???
Siapa yang peduli dengan ketidak sanggupanmu, keterbatasanmu, kemampuanmu, semua akan lancar jika kaU punya uang sebanyak-banyak.a...
miskin bukan pilihan...
tapi siapa yang bertanggung jawab???
Tanaman jagung
Dalam perkembangannya terjadi pro-kontra
mengenai produk bioteknologi tersebut terutama kaitannya dengan dampak negatif
yang ditimbulkan, misalnya “ apakah tanaman tansgenik tersebut bisa berkembang justru
menjadi tanaman yang peka terhadap hama atau dengan kata lain hama yang
menyerang akan tahan terhadap bahan aktif yang terkandung dalam tanaman
transgenik” . Ilmuwan
menyadarai bahwa tidak ada suatu teknologi yang benar-benar 100% aman, sehingga
akan selalu dipertimbangkan potensi-potensi manfaat dan resiko yang diakibatkan oleh teknologi tersebut. Kondisi
seperti ini merupakan peluang yang sangat besar bagi ilmuwan bioteknologi
disamping untuk mengembangkan juga untuk selalu menggali dan mencari
alternativ-alternativ yang mampu memberikan solusi dari resiko yang akan
ditimbulkan oleh hasil bioteknologi. Sebagai contoh untuk mengatasi kemungkinan
terjadinya ketahanan hama terhadap
tanaman transgenik, Sarjan (2003) menawarkan alternatif STRATEGI PENGELOLAAN
KETAHANAN HAMA TERHADAP BT DENGAN REKOMBINAN LECTIN. Dalam
model ini dijelaskan bahwa resistensi serangga terhadap Bt disebabkan
oleh meningkatnya jumlah protein koagulasi yang menghambat masuknya toksin ke
membran (Glatz et al ; Ma et al; Rachman et al, 2004 ; Sarjan,
2002; Sarjan, 2003 a; Sarjan, 2003b). Lectin merupakan kelompok glykoprotein
yang diisolasi dari berbagai hewan dan tanaman, dan beberapa diantaranya dapat
menghambat atau merurunkan protein koagulasi dalam usus serangga, sehingga
menyebabkan toksin Bt akan mampu sampai ke membran yang selanjutnya mematikan
serangga tersebut. Dengan keragaman flora dan fauna yang dimiliki oleh
Indonesia sebagai negara trofis sangat berpotensi sebagai sumber lectin yang
bisa digunakan baik untuk mencegah terjadinya ketahanan serangga terhadap Bt
toksin maupun untuk bahan insektisida
alami. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan molekuler yang bertujuan
untuk mengembangkan strategi pengelolaan resistensi serangga terhadap Bt,
yaitu untuk menghindari terjadinya resistensi Bt di lapangan atau untuk
mengurangi resistensi yang telah terjadi baik pada tanaman transgenik
maupun non-transgenik.
CURRICULUM VITAE
G. Congress, Seminar
and training
kaU mencoba kritis dengan ketidak mampuanmu???
sebelum kau mau merubah sesuatu bangunlah kekuatan terlebih dahulu dalam dirimu...
jangan engkau menggapai bintang dengan lukisan yang telah ternoda...
kaU tidak akan mengerti, jika kaU bukan orang yang peka...
miskin bukan pilihan, perjuangan baru dimulai, tapi siapa yang memberi jaminan???
Siapa yang peduli dengan ketidak sanggupanmu, keterbatasanmu, kemampuanmu, semua akan lancar jika kaU punya uang sebanyak-banyak.a...
miskin bukan pilihan...
tapi siapa yang bertanggung jawab???
PENGELOLAAN HAMA TERPADU
(PERTARUNGAN ANTARA TEKNOLOGI
KONVENSIONAL VERSUS MODERN) DALAM RANGKA PENCAPAIAN PRODUKSI PERTANIAN SECARA
KUANTITATIF DAN KUALITATIF
Orasi Ilmiah
Disampaikan pada Upacara Dies Natalis ke 42
Universitas
Mataram
2 Oktober 2004
Oleh
Ir. M. Sarjan, M.Ag.CP., Ph.D
(Dosen dan Peneliti bidang Pengendalian Hayati Hama
pada Program Studi Hama dan Penyakit
Tumbuhan-Fakultas Pertanian
Universitas Mataram )
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS MATARAM
2004
Yang terhormat :
Bapak Gubernur Nusa Tenggara Barat
Bapak Rektor Universitas
Mataram
Anggota Senat Universitas
Mataram
Bapak Ketua DPRD Nusa
Tenggara Barat
Bapak-bapak Anggota
Muspida Propinsi Nusa Tenggara Barat
Bapak-bapak perwakilan
Universitas/ PerguruAN Tinggi Swasta se NTB
Bapak-bapak Pejabat Sipil
dan Militer Nusa Tenggara Barat serta
Para undangan hadirin dan
hadirat yang saya hormati pula
Assalamu’alaikum
Warakhmatullahi Wabarakatuh
Pada kesempatan yang
berbahagia ini marilah kita memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya kepada kita sekalian. Kita harus mensyukuri pula atas berbagai
nikmat, diantaranya berupa kekayaan sumberdaya alam yang dilimpahkan-Nya serta
atas kesempatan dan kemampuan yang kita peroleh untuk mengelola dan
memanfaatkannya, walaupun hingga saat ini masih belum mencapai hasil yang
optimal. Salam dan salawat kepada junjungan
nabi besar Muhammad SAW
Terima kasih saya ucapkan
kepada Rektor serta panitia Dies Natalis Universitas Mataram yang ke 42 yang
telah memberikan penghargaan kepada saya untuk menyampaikan pidato ilmiah pada
kesempatan yang berharga ini. Semoga Universitas Mataram akan semakin
menunjukkan kemajuan sebagai Lembaga
Pendidikan Tinggi Negeri kebanggaan
masyarakat NTB dan akan lebih
mampu mengejar ketinggalannya dari beberapa Perguruan Tinggi yang seusia
hampir setengah abad ini.
Para hadirin yang kami
hormati,
Tema yang diangkat
pada acara Dies Natalis Unram ke 42 saat ini adalah ”PERGURUAN TINGGI BERKUALITAS
UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN .” Berkaitan dengan tema tersebut maka saya
mencoba untuk menyampaikan pemikiran di
bidang pertanian dalam bentuk pidato ilmiah dengan topik : “PENGELOLAAN
HAMA TERPADU DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN DI ERA GLOBALISASI
“
Pertama-tama marilah kita
bandingkan dua model pertanian dari aspek keberlanjutan sistem yang pernah ada
di Indonesia yaitu :
Sistem tradisional (Pertanian alami) : Kenyataan mengungkapkan bahwa nenek moyang bangsa
Indonesia telah bercocok tanam sejak jaman dulu pada saat jumlah manusia
sedikit, lahan luas, air cukup ,varietas unggul (lokal) berlimpah, tahan
hama/penyakit, tidak pernah ada pemupukan dan pemberantasan hama, produksi
mencukupi, petani sejahtera dengan umur yang panjang. Degradasi lahan diatasi
melalui sistem perladangan berpindah (shifting cultivation). Pada sistem
ini interaksi antara tanah dengan kehidupan di dalamnya berlangsung secara
seimbang dan mencapai suatu suksesi, sehingga diperoleh kehidupan yang stabil dan
berkelanjutan. Sistem hara-tanaman bersifat daur tertutup (closed nutrient
recycling). Dalam hal ini tidak ada atau sedikit sekali masukan hara dari
luar sistem (low external nutrient input). Masukan hara berasal dari
daur ulang sisa kehidupan (jasad mati) atau berasal dari udara atau air yang
masuk ke dalam sistem
Sistem Modern
(Revolusi Hijau): Diawali dari Eropah, dan Indonesia
dimulai pada tahun 1970-an hingga saat ini, melalui program Padi-Sentra,Bimas,
Inmas, Insus, Supra-Insus, Gema-Palagung, Ketahanan Pangan. Konsep awal
adalah untuk mengatasi masalah pertambahan penduduk yang berlangsung seperti
deret ukur, sementara pertambahan pangan seperti deret hitung, diperlukan
revolusi melalui rekayasa genetika, melalui varietas unggul berumur pendek dengan
produktivitas tinggi. Varietas ini respon pupuk tetapi peka terhadap
hama/penyakit, lalu berkembanglah industri pupuk dan pestisida. Penggunaan
pupuk dan pestisida secara tidak rasional berdampak pada produktivitas
mengalami “ levelling off” dan serangan hama sulit dikendalikan, terjadi
kerusakan lingkungan karena tercemar. Masukan hara dari luar yang tinggi (high
external nutrient input) telah menyebabkan degradasi kesuburan tanah.
Akibatnya sifat fisik, kimia dan biologi tanah terganggu dan produktivitas
tanaman mengalami stagnasi serta berdampak negatif terhadap lingkungan. Kondisi
seperti ini yang memunculkan gagasan dan konsep sistem pertanian berkelanjutan
( Sustainable agriicultural systems ).
Dalam konteks pembangunan
sistem pertanian berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya pertanian juga
dilaksanakan dalam satu pola yang menjamin kelestarian lingkungan hidup,
menjaga keseimbangan biologis, memelihara kelestarian dan bahkan memperbaiki
kualitas sumberdaya alam sehingga dapat terus dimanfaatkan, dan menerapkan
model pemanfaatan sumberdaya yang efisien (Harwood, 1990; TAC, 1988). Penerapan
model Pengelolaan Hama terpadu (PHT) merupakan salah satu wujud nyata
kebijaksanaan dalam mendukung
pembangunan pertanian berkelanjutan tersebut baik secara nasional maupun
Internasional. Demikian juga dari aspek dukungan hukum dan realita global yang
membawa konsekuensi akan mengharuskan kita untuk mererapkan
prinsip-prinsip dasar tersebut di atas. Oleh karenan itu pada kesempatan ini
akan saya sampaikan pemikiran prinsip,
strategis dan potensi serta peluang yang perlu dicermati untuk mensukseskan
implementasi pembangunan sistem pertanian berkelanjutan melalui praktik
pengelolaan hama terpadu .
Bapak Gubernur, Bapak Rektor dan para hadirin yang saya hormati
Dalam menghadapi tantangan
perdagangan bebas antara negara-negara Asean (AFTA) sejak tahun 2003 yang lalu,
Asia Pasific ( APEC) dan organisasi perdagangan dunia (WTO) pada tahun 2010,
sektor pertanian dihadapkan pada kondisi yang kurang mendukung, yaitu: (1)
kemampuan sumberdaya manusia yang relatif rendah; (2) lahan serta sarana dan
prasarana pertanian yang semakin langka; dan (3) tingginya biaya investasi
pertanian di lahan baru. Aktiivitas sektor pertanian yang dilakukan oleh
penduduk dan terkonsentrasi pada wilayah padat populasi, yang sebagian besar
dilakukan secara tidak ramah lingklungan karena tekanan ekonomi, telah
menyebabkan berbagai kerusakan sumberdaya pertanian ( Rasahan, 1996). Hal ini
terlihat pada banyak wilayah yang kurang subur dengan kondisi yang tidak
stabil, khususnya pada daerah lahan kering dan lahan pasang surut.
Pasar Internasional telah
mensyaratkan “label ekologi (eco-labelling)” untuk berbagai jenis komoditas,
yang harus diproduksi dengan proses ramah lingkungan. Produk tersebut dinamakan
produk yang “eko-efisien atau produk bersih “ ( Untung, 1996). Dalam menerapkan
pembangunan berkelanjutan, KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brasil pada tahun 1992
telah menetapkan Agenda 21. dalam Agenda
21, bagian II, bab 14 dari “ Promoting Sustainable Agriculture and Rural
development” disebutkan ada 12 program pertanian berkelanjutan yang harus
diterapkan oleh setiap negara. Salah satunya yang terpenting adalah Pengelolaan
dan pengendalian hama terpadu (PHT)
atau Integrated Pest management dalam bidang pertanian
(butir 1). Dengan demikian , penerapan PHT merupakan satu bagian yang penting
dari sisitem usahatani berkelanjutan secara global. Secara Nasional di Indonesia telah diaplikasikan PHT pada berbagai
komoditas terutama setelah diterapkannya PHT sebagai satu-satunya kebijakan dalam perlindungan tanaman yang
didukung dengan dikeluarkannya UU
12/1992 tentang sistem Budidaya Tanaman, PP No 5/1996 tentang perlindungan
tanaman, Inpres 3/1986 tentang
pengendalian hama wereng coklat .
Para hadirin yang
saya hormati
Konsep dan
Prinsip Pengelolaan Hama Terpadu (PHT)
Pengelolaan Hama terpadu
(PHT)
adalah suatu cara pendekatan, cara berfikir atau falsafah pengendalian hama
yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka
pengelolaan agroekosistem yang bertanggung jawab ( Untung, 1993). Konsep Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) merupakan
suatu pemikiran atau cara pendekatan pengendalian hama yang secara prinsip
berbeda dengan konsep pengendalian hama secara konvensional yang sangat
tergantung pada penggunaan pestisida. Konsep PHT timbul dan berkembang di
seluruh dunia karena kesadaran manusia terhadap bahaya penggunaan pestisida
yang terus meningkat bagi kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidup.
Kesadaran global akan pentingnya kualitas lingkungan hidup sebagai bagian
pemenuhan kesejahteraan hidup telah mendesak akan perlunya diadakan perubahan
mendasar tentang berbagai penggunaan bahan kimia berbahaya seperti pestisida.
Apabila penggunaan pestisida harus dikurangi maka masalah yang kemudian muncul
dan dihadapi oleh petani adalah bagaimana cara penggunaan pestisida dapat
dikurangi tetapi kehilangan atau kerugian hasil akibat serangan hama dapat
dihindari. Konsep PHT merupakan alternatif yang tepat untuk menjawab dilema
tersebut, karena PHT bertujuan membatasi penggunaan pestisida sesedikit mungkin
tetapi sasaran kualitas dan kuantitas produksi pertanian masih dapat dicapai
(Luna and Garfield, 1990) .
Untung (1995) menyebutkan
beberapa prinsip teknologi PHT yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari
sistem usahatani yang berkelanjutan yaitu :
(1)
Pengelolaan ekosistem pertanian dengan perpaduan optimal
teknik-teknik pengendalian hama dan meminimalkan penggunaan pestisida sintetis
yang berspektrum luas.
(2)
Promosi dan dukungan pengendalian hayati yang dapat menekan
populasi hama sampai pada aras keseimbangan
(3)
Kegiatan-kegiatan lapangan PHT seperti pemantauuan, analisis
ekosistem, pengambilan keputusan dan interval pengendalian hama.
(4)
Teknologi PHT harus bersifat lokasi spesifik dan sesuai
dengan keadaan sosial-ekonomi masyarakat.
(5)
Teknologi PHT adalah praktis, mudah dipelajari dan diadopsi
oleh petani yang kemungkinan kondisi lapangannya berbeda-beda.
Hadirin yang berbahagia
Saya memahami bahwa banyak
diantara kita berpola pikir seperti
kebanyakan petani khususnya di negara–negara berkembang seperti Indonesia yang
masih melaksanakan cara-cara
pengendalian dengan pendekatan supresif
dan eradikatif yang dianggap paling berhasil meningkatkan produksi
pertanian tanpa mempertimbangkan faktor ekologi
seperti pada pengelolaan hama terpadu di atas.
Konsep Pengendalian Hama Secara Konvensional
Kenyataan menunjukkan
bahwa tindakan pengendalian hama yang menggunakan satu taktik saja dapat
memberikan hasil pengendalian yang efektif. Namun sebaliknya, seringkali timbul
berbagai masalah akibat tindakan sepihak khusunya pengendalian secara kimiawi
saja (pengendalian secara konvensional). Oleh karena itu tindakan yang demikian
bukanlah cara pendekatan yang baik dan benar, terbukti bahwa efektivitas dan
efisiensi pestisida dalam pengendalian hama semakin lama semakin menurun,
bahkan timbul berbagai masalah baru yang lebih sulit untuk diatasi.
Ciri-ciri pengendalian hama secara konvensional adalah
sebagai berikut ( Sastrosiswojo dan Untung, 1994).:
1)
Tujuan pengendalian hama adalah untuk meberantas dan
memusnahkan hama semaksimal mungkin agar program peningkatan produksi tanaman
tidak terganggu.
2)
Usaha pemberantasan hama yang paling baik adalah dengan
melindungi tanaman dengan bahan kimia yang beracun (pestisida) agar hama tidak
mampu menyerang tanaman. Azaz preventif ini dilaksanakan dengan program
penyemprotan pestisida berjadwal (sistem kalender).
3)
Karena sasarannya adalah pemberantasan dan
pelaksanaannya mengikuti azaz preventif,
maka ketergantungan terhadap pestisida organik sintetis berspektrum luas
menjadi semakin besar.
4)
Alternatif pemberantasan hama bukan antara satu teknik
pengendalian dengan teknik pengendalian lainnya, tetapi kebaikan suatu cara
pemberantasan yaitu jenis pestisida yang memberikan hasil yang efektif (cepat
dan banyak membunuh hama), caranya mudah serta harganya terjangkau.
5)
Pengambilan keputusan pelaksanaan pengendalian tidak
dilakukan atas pengamatan dan keadaan lapangan (ekosistem) tetapi atas dasar
yang telah ditentukan yang merupakan paket teknologi budidaya tanaman yang
direkomendasikan. Keadaan ekosistem termasuk populasi hama, populasi musuh
alami, keadaan tanaman dan keadaan cuaca
serta kelayakan sosial ekonomi kurang dipertimbangkan dalam memutuskan
penggunaan pestisida.
6)
Program pengendalian hama dan budidaya tanaman pada umumnya
kurang dilandasi oleh pengetahuan dan keterampilan yang cukup tentang tanaman,
ekosistem dan prinsip budidaya tanaman yang bernalar. Petani lebih mengandalkan
diri pada intuisi mereka, hasil empirik atau yang berasal dari sumber-sumber
lain yang kurang tepat dan mempunyai konsisi yang sama dengan mereka.
7)
Teknologi pengendalikan hama diterapkan secara seragam baik
secara spasial (antar tempat) maupun temporal (antar waktu) oleh para pelaksana
pengendalian (petani atau perusahaan pertanian /perkebunan) dan tidak
disesuaikan dengan keadaan ekosistem serta kemampuan sosial ekonomi masyarakat.
Pendekatan ini diikuti untuk memudahkan
perencanaan dan koordinasi serta pengawasan pelaksanaan penendalian hama.
8)
Program pengendalian hama dan perlindungan tanaman pada
umumnya masih dianggap sebagai suatu bagian yang mandiri dari program produksi
tanaman guna mencapai sasaran peningkatan produksi dan penghasilan petani.
Pendekatan fragmental menurut sektor atau bidang pembangunan serta menurut
bidang disiplin ilmu seakan-akan menganggap timbul dan berkurangnya serangan
hama merupakan peristiwa yang berdiri sendiri dan penanggulangnya dianggap merupakan urusan dan tanggung jawab
para penentu keputusan/petugas lapangan/pakar perlindungan tanaman.
Bapak Gubernur, Bapak
Rektor dan hadirin yang saya hormati
Setelah bertahun-tahun
kita berusaha menerapkan teknologi pengelolaan hama terpadu masih banyak faktor
yang menjadi kendala antara lain faktor manusia itu sendiri / petani sebagai pengelola yang secara umum masih
menderita penyakit yang disebut dengan ” Entomofobia”.
Entomofobia bermakna fobi atau ketakutan berlebihan terhadap
serangga artinya sebagian besar petani
masih belum mampu membedakan antara serangga sebagai hama atau pengganggu
tanaman dengan serangga sebagai musuh alami yang bermanfaat. Para petani masih sangat mengandalkan insektisida kimia
sebagai alat pengendali dengan tujuan untuk memberantas serangga yang ada pada
agroekosistem tanpa memperdulikan dampak negatif yang ditimbulkan khususnya
terbunuhnya serangga dari golongan musuh alami. Hal ini secara sosial budaya
sangat sulit dihindari karena pemahaman masyarakat umumnya mengenai serangga
masih bersifat negatif, yaitu sebagai musuh manusia, karena sebagai hama dan
vektor penyebab penyakit yang membahayakan. Akibatnya petani masih mengandalkan
senjata pamungkas yang bernama insektisida kimia. Kondisi ini tentu merupakan
salah satu kendala yang sangat penting dalam implementasi Pengelolaan Hama
terpadu di Indonesia. Untuk mengurangi masalah tersebut sebenarnya telah
dilaksanakan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) yang
dicanangkan secara nasional untuk beberapa komiditas di berberapa propinsi
sejak tahun 1989. Tujuan dari SLPHT adalah untuk mengubah perilaku fundamental
petani dari pengendalian serangga pengganggu yang tergantung pada penggunaan
insektisida menjadi pengelolaan serangga berdasarkan ciri dan mekanisme alami
ekosistem pertanian. Program pelatihan
petani melalui SLPHT merupakan contoh atau model peningkatan kualitas SDM dan
penerapan pendekatan holistik yang telah dioperasikan. Namun untuk meningkatkan
kualitas SLPHT masih diperlukan kegiatan-kegiatan penelitian yang mendukung
teknologi yang dilatihkan di SLPHT. Di samping itu agar konsep PHT dapat
efektif dilakukan di seluruh Indonesia diperlukan dukungan kelembagaan yang
penuh dari lembaga-lembaga yang ada di pemerintah dan masyarakat ( petani,
kelompomk tani dan LSM).
Kalau kita perhatikan
butir-butir prinsip PHT di atas yang pada intinya adalah bagaimana upaya mengurangi penggunaan
pestisida dalam pengendalian hama dengan mengoptimalkan fungsi pengendalian
secara alami. Kajian-kajian ke arah
itu sebenarnya telah banyak dilakukan
baik di tingkat laboratorium maupun lapangan, misalnya pemanfaatan insektisida non-kimiawi
sintetis yang mampu mengendalikan
berbagai jenis hama. Demikian juga dengan pemanfaatan agen pengendali hayati
yang paling berkembang dan sudah tersebar secara komersial misalnya, bakteri Bacillus thuringiensis telah digunakan
untuk mengendalikan hama-hama penting
dari ordo lepidoptera seperti Plutella xylostella dan Crocidolomia
binotalis pada tanaman kubis (Rajakulendran, 1993; Gahan et al,
2001; ) dan Spodoptera exigua Hbn pada tanaman bawang merah (Sarjan,
1995). Dengan insektisida nabati seperti nimba berdasarklan hasil penelitian
Mujiono et al (1993) menunjukkan bahwa bahan tersebut memiliki
kemempanan yang lebih tinggi daripada insektisida kimia sintetis dalam menekan
hama P. xylostella. Namun dalam penerapannya baik insektisida hayati
maupun nabati belum banyak dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu untuk
memperluas penggunaan insektisida non kimiawi sintetis di lapangan Sarjan (2004) telah melakukan penelitian
konservasi musuh alami pada tanaman kedelai. Pemanfaatan agen pengendali
hayati Bacillus thuringiensis
(Sarjan, 1995 ; Wiresyamsi dan Sarjan,
1996) telah dilakukan pada tingkat aplikasi yang mampu menurunkan penggunaan
pestisida dan tetap mampu mempertahankan produksi.
Hasil-hasil yang telah
dicapai oleh program nasional PHT secara ringkas dapat dikemukakan sebagai
berikut ( disadur dari Sudarwohadi dan Oka, 1997).
- Peningkatan Sumberdaya Manusia (SDM)
terlatih PHT
(sampai dengan Februari 1997) adalah :
- Pengamat Hama Penyakit
(PHP) : 506 (padi) + 116 (sayuran) = 622 orang
- Petugas Penyuluh Lapangan (PPL): 1.012 (padi) + 185
(sayuran) = 1.197 orang
- Petani :
i.
Petani Pemandu (HPT padi) ; 14.042 orang
ii.
Petani SLPHT : 399.477 (padi) = 12.290(sayuran)= 411767 orang
- Pengurangan rata-rata penggunaan pestisida
- PHT padi : 60% (
insektisida)
- PHT kubis
i.
Insektisida : 81 %
ii.
Fungisida : 96 %
- PHT kentang
i.
Insektisida : 89%
ii.
Fungisida : 81%
- Peningkatan hasil panen sayuran (tahun 1994):
- PHT-kubis : 7.6%
- PHT-kentang :
24.4%
- Peningkatan keuntungan bersih sayuran (tahun 1994)
- PHT-kubis : Rp 2.796.000.,/ha
- PHT-kentang Rp 1.889.000.,/ha
Hadirin yang saya hormati
Pertanyaannya adalah “Apakah masih relevan kita berfikir dan menerapkan
Pegelolaan Hama Terpadu dalam konteks sistem pertanian berkelanjutan pada
kondisi dimana dunia sedang berpacu mengejar produktivitas dengan perlombaan
teknologi mutahir ?” . Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi, maka
saya optimis apa yang diharapkan dalam
PHT akan dapat dicapai mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi di
bidang lainnya, termasuk pemanfaatan Bioteknologi dalam perlindungan tanaman.
Bioteknologi di bidang Pengendalian secara hayati
Pertanian sedang menuju ke
bentuk revolusi yang lain , namun saat ini lebih besar pada revolusi genetik
yang dinyatakan sebagai revolusi teknologi ketiga mengikuti revolusi di bidang
industri dan komputer. Walaupun Bioteknologi bukan merupakan kompopnen PHT,
tapi sebagai alat inovativ dimana dengan hasil-hasil bioteknologi akan membantu
menyediakan sarana yang lebih efektif dan efisien dalam pelaksanaan PHT.
Teknologi maju di bidang kimia, biokimia, molekuler genetik dan rekayasa
genetik telah menghasilkan bahan-bahan dan produk yang kurang toksik dan
berbahaya bagi manusia dan lingkungan., dibandingkan dengan insektisida kimia
konvensional. Produk-produk ini termasuk rekayasa genetik tanaman yang lebh
aman terhadap hama dan penyakit, tanaman dan musuh alami hama yang cukup
toleran terhadap pestisida yang semuanya akan menjadi potensi yang tepat dengan
konsep Pengelolaan hama secara modern.
Salah satu contoh produk
bioteknologi yang sedang digalakkan saat ini adalah “Transgenic Plant” pada
beberapa produk pertanian seperti kapas, jagung dan bahkan pada tanaman padi.
Prinsip bioteknologi ini adalah memanipulasi tanaman dengan memasukkan gen
pengendali hayati (Bt-toksin). Tanaman itu merupakan hasil rekayasa
gen dengan cara disisipi satu atau sejumlah gen. Gen yang dimasukkan itu -
disebut transgene - bisa diisolasi dari tanaman tidak sekerabat atau spesies
lain sama sekali. Karena berisi transgene tadi, tanaman itu disebut genetically
modified crops (GM crops). Atau, organisme yang mengalami rekayasa
genetika (genetically modified organisms, GMOs).
Transgene
umumnya diambil dari organisme yang memiliki sifat unggul tertentu. Misal, pada
proses membuat jagung Bt tahan hama, pakar bioteknologi memanfaatkan gen
bakteri tanah Bacillus thuringiensis (Bt) penghasil racun yang mematikan
bagi hama tertentu. Gen Bt ini disisipkan ke rangkaian gen tanaman jagung,
sehingga tanaman resipien (jagung) juga mewarisi sifat toksis bagi hama. Ulat
atau hama penggerek jagung Bt akan mati. Begitu pun racun pada kapas Bt dapat
membunuh boll-worm, hama perusak tanaman kapas.
Dengan teknik ini, tidak
diperlukan penyemprotan biopestisida, karena tanaman itu sendiri telah
mengandung gen biopestisida. Tansgenic Bt crop telah mulai dilaksanakan sejak
awal 1990 an di beberapa negara maju dan transgenic Bt pada tanaman padi
dimulai sejak tahun 1997. Berikut beberapa contoh Transgenic Insecticidal
Cultivars (TIC) yang telah dikomersalkan di beberapa negara dengan merek dagang
yang beragam.
BACILLUS THURINGIENSIS CROP YANG SUDAH
DIKOPMERSIALKAN
Diperkirakan bahwa nilai
perdagangan dunia tanaman GE akan meningat terus sebesar $ 8 miliar pada tahun 2005 dan sekitar $25
miliar pada tahun 2010. Jumlah negara yang menanam tanaman transgenic juga
meningkat dari hanya 1 negara pada th 1992 menjadi 13 negara pada tahun 1999.
Antara tahun 1996-2000 luas pertanaman
tanaman transgenic meningkat menjadi lebih 25 kali lipat, dari 1,7 juta ha pada
tahun 1996 menjadi 44,2 juta ha pada th 2000. Tiga negara ( US, Canada dan
Argentina) menanam sebanyak 98% dari total luas tanam, Negara-negara yang sudah
mengkomersiakan tanaman GE ( dan
persentasi keseluruhan tanaman transgenic) pada tahun 1999 adalah : US, 30,3
juta ha ( 68%); Argentina , 10,0 juta ha (23%); Canada, 3,0 juta ha (7%);
China, 0,5 juta ha (1%); dan Australia dan Afrika, masing-masing kurang dari
0,2 juta ha ( 0,5%). Adopsi teknologi baru
ini seperti teknologi lainnya sangat pesat pada negara-negara industri, tapi
proporsi penanaman tanaman transgenic di negara-negara berkembang juga selalu meningkat dari 14% th 1997
menjadi 16% th 1998, menjadi 18% th 1999, dan 24% pada th 2000. Data-data
tersebut menunjukkan bahwa terjadi perkembangan yang pesat pada penerapan bioteknologi di bidang pertanian ,
dan berikut ini disajikan contoh-contoh
tanaman transgenik yang sudah dikomersialkan dan sedang dikembangkan .
Tanaman kentang
Pada th 1995, Bt- potato (
NewLeaf TM, Mosanto, St Louis, MO, USA), merupakan Bt
-crop pertama yang
dikomersialkan. Tanaman kentang ini direkayasa mengandung Cry3A protein untuk
mengendalikan hama jenis kumbang (Colorado potato beetles). Pengggunaan
insektisida diperkirakan menurun sampai 40% pada areal ini pada tahun 1997.
Produk ini suidah dicoba di beberapa negara seperti Canada, Jepang, Mexico dan
Georgia.
Tanaman kapas.
Pada th 1996, Bt-cotton
(Boolgard TM, Monsanto) sudah disebarkan untuk mengendalikan hama
penggerek kapas ( Heliothis sp). Tanaman ini mengandung Cry IAc protein
yang pada tahun 1997 menunjukkan peningkatan hasil sebesar 14% dengan penurunan
pengunaan insektisida kimia sebanyak 300.000 gallon, serta sudah dicoba di
negara seperti Australia, China, Mexico,
Afrika selatan dan USA.
Tanaman jagung
Beberapa perusahaan telah
megembangkan Bt-maize dan dikomersialkan sejak 1996 oleh: Novarties, Basel,
Switzerland (Yieldgard TM, Knockout TM, dan Bitegard
TM ) Mycogen, San Diego, CA, USA
(Naturegard TM ), Monsanto(Yieldgard TM ) dan DEKALB
genetics, IL, USA( Bt-Xtra TM ).Kecuali Bt-Xtra TM semua
mengandung CryIAb protein. Pada penelitian lapangan BT-maize megendalikan 99%
generasi pertama penggerek tongkol. sudah disebarkan ke negara Argentina,
Canada, Jepang USA dan negara-negara Eropa.
Tanaman padi .
Di India merupakan
penelitian pertama transgenik plant pada kelompok cereal termasuk padi yang
mengandung Bt CryIAc protein dalam pengendalian hama penggerek batang padi (Scirpophaga
incertulas).
Di Indonesia pun pengembangan tanaman transgenik kini masih dilakukan,
terutama di tingkat litbang (Deptan, Batan, LIPI, dan BPPT). Komoditasnya
meliputi produk dari luar negeri dan produk dalam negeri.
Dalam perkembangannya terjadi pro-kontra
mengenai produk bioteknologi tersebut terutama kaitannya dengan dampak negatif
yang ditimbulkan, misalnya “ apakah tanaman tansgenik tersebut bisa berkembang justru
menjadi tanaman yang peka terhadap hama atau dengan kata lain hama yang
menyerang akan tahan terhadap bahan aktif yang terkandung dalam tanaman
transgenik” . Ilmuwan
menyadarai bahwa tidak ada suatu teknologi yang benar-benar 100% aman, sehingga
akan selalu dipertimbangkan potensi-potensi manfaat dan resiko yang diakibatkan oleh teknologi tersebut. Kondisi
seperti ini merupakan peluang yang sangat besar bagi ilmuwan bioteknologi
disamping untuk mengembangkan juga untuk selalu menggali dan mencari
alternativ-alternativ yang mampu memberikan solusi dari resiko yang akan
ditimbulkan oleh hasil bioteknologi. Sebagai contoh untuk mengatasi kemungkinan
terjadinya ketahanan hama terhadap
tanaman transgenik, Sarjan (2003) menawarkan alternatif STRATEGI PENGELOLAAN
KETAHANAN HAMA TERHADAP BT DENGAN REKOMBINAN LECTIN. Dalam
model ini dijelaskan bahwa resistensi serangga terhadap Bt disebabkan
oleh meningkatnya jumlah protein koagulasi yang menghambat masuknya toksin ke
membran (Glatz et al ; Ma et al; Rachman et al, 2004 ; Sarjan,
2002; Sarjan, 2003 a; Sarjan, 2003b). Lectin merupakan kelompok glykoprotein
yang diisolasi dari berbagai hewan dan tanaman, dan beberapa diantaranya dapat
menghambat atau merurunkan protein koagulasi dalam usus serangga, sehingga
menyebabkan toksin Bt akan mampu sampai ke membran yang selanjutnya mematikan
serangga tersebut. Dengan keragaman flora dan fauna yang dimiliki oleh
Indonesia sebagai negara trofis sangat berpotensi sebagai sumber lectin yang
bisa digunakan baik untuk mencegah terjadinya ketahanan serangga terhadap Bt
toksin maupun untuk bahan insektisida
alami. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan molekuler yang bertujuan
untuk mengembangkan strategi pengelolaan resistensi serangga terhadap Bt,
yaitu untuk menghindari terjadinya resistensi Bt di lapangan atau untuk
mengurangi resistensi yang telah terjadi baik pada tanaman transgenik
maupun non-transgenik.
Hadirin yang saya hormati
Seperti saya kemukakan
di awal , pada bagian terakhir pidato
ilmiah ini akan mencoba melihat potensi
serta peluang yang perlu dicermati untuk mensukseskan implementasi pembangunan
sistem pertanian berkelanjutan melalui praktik pengelolaan hama terpadu. Dalam
hal ini akan saya paparkan hubungan antara pertanian organik yang sudah
menjadi trend global dalam pembangunan pertanian berkelanjutan
dengan upaya pengelolaan hama terpadu.
Seiring dengan makin
tumbuhnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan dan kesehatan, maka saat ini
telah dikembangkan suatu model alernatif yang lebih aman dan menjanjikan yaitu
dengan sistem pertanian organik. Tujuan utama pertanian organik adalah
mengembangkan kegiatan produksi berkelanjutan serta harmonis dengan lingkungan
(Agriculture, Food and Rural Revitalization, 2002) yang mengenalkan suatu
ekosistem kehidupan yang komplek, dimana tanah merupakan ekosistem kehidupan
yang dinamis. Sayuran organik sebagai contoh merupakan sayuran yang dihasilkan
dari sistem budidaya organik, yaitu budidaya pada tanah yang subur dengan
tingkat humus dan aktifitas biologi yang tinggi dan terutama tanpa
tambahan input sintetis (McCoy, 2001).
Dengan demikian pengelolaan hama terpadu sangat berperanan dalam menghasilkan
produk organik . Sebagai output adalah produk pertanian dan lingkungan hidup yang sehat yang pada
prinsipnya mengacu pada sistem alami dengan meminimalisasi masukan senyawa-senyawa anorganik (pupuk, pestisida). Namun timbul
pertanyaan selanjutnya “ Sampai
seberapa jauh petani dan masyarakat Indonesia mengembangkan organic farming dan apakah mereka sudah menerima produk-produk organik tersebut?”
Sebagai gambaran marilah kita
perhatikan perkembangan organik produk secara global dengan peluang
agribisnisnya. Pada saat ini satu dari empat orang Amerika mengkonsumsi produk
organik, dan terus tumbuh dengan laju pertumbuhan produk organik sebesar 20%
setiap tahun dalam sepuluh tahun terakhir serta mampu mengisi sektor ekonomi di
negara tersebut (Wood et al, 2002). Dalam era globalisasi , pasar
sayuran organik sangat terbuka dan saat ini Australia telah mengekspor sayuran
organik ke pasar Amerika dan beberapa negara Eropa seperti Inggris, Jerman dan
Prancis serta beberapa negara Asia seperti Jepang, Singapore dan Malaysia
(McCoy, 2001). Keadaan ini juga dimanfaatkan oleh negara Asia seperti Thailand
yang sejak tahun 1995 telah mengeluarkan standarisasi dan sertifikasi produk
organik (ACT, 2001).
Pertanian organik bukan saja sebagai sistem yang ramah lingkungan,
tapi terbukti mudah dilakukan dengan biaya lebih murah dan hasil masih bisa
dipertahankan seperti pada sistem
pertanian konvensional. Contoh yang paling nyata adalah pada budidaya
beberapa sayuran seperti kubis (Brassica oleraceae.var. italica Plenck)
, Bunga kol (Brassica oleraceae.var. brotritys), Andewi (Chicorium
endive), Lettuce (Lactuca sativa), kentang (Solanum tuberosum
L.) dan wortel (Daucus carota)
di kebun percobaan Cangar,, Malang (Suryanto et al, 2003). Produksi sayuran organik tersebut masih terbatas
tergantung dari outlet yang telah terbentu seperti Swalayan serta beberapa
hotel dan katering di kota Malang. Dalam sosialisasi sayuran organik dilakukan
kerjasama dengan Mitra Bumi Indonesia, LSM yang bergerak dalam advokasi
pertanian organik. Ditambah pula di Indonesia sudah terbentuk kelompok
Masyarakat Pertanian Organik Indonesia (MAPORINA) yang semestinya diharapkan
akan menjadi badan yang bertanggung jawab terhadap sertifikasi. Namun sampai saat
ini sistem budidaya organik masih belum banyak dikenal oleh masyarakat
Indonesia khususnya di Nusa Tenggara
Barat, padahal konsep ini telah lama dikenal dan diterapkan di negara maju
dengan menerapkan sistem organik dengan menetapkan persyaratan sertifikasi
tertentu (IFOAM, dll).
Di Indonesia yang beriklim
trofis, aneka sayuran dapat dibudidayakan sepanjang tahun dengan keragaman yang
tinggi berupa sayuran daun, tunas, buah, umbi dan polong. Survey BPS (2000)
menunjukkan produksi sayuran di Indonesia , diantaranya bawang merah, kubis,
sawi, wortel dan kentang, berturut-turut 772.818, 1.336.410, 484.615, 326.693
dan 977.349 ton pada total areal seluas 291.192 Ha. Dengan potensi tersebut dan
dengan semakin majunya masyarakat , maka sudah saatnya komoditas sayuran
dikembangkan pula menjadi produk organik. Budidaya sayuran organik relatif
mudah dan murah untuk dilakukan dan terbukti lebih hemat, aman dan sehat untuk
dikonsumsi.
Nusa Tenggara Barat khususnya Pulau Lombok yang merupakan daerah
dengan potensi sumberdaya alamnya yang
melimpah baik untuk kegiatan pariwisata maupun pertanian sebagai pendukungnya
sangat berpeluang untuk dikembangkan. Dengan maraknya pembangunan di bidang
parawisata membuat Nusa Tenggara Barat terutama Pulau Lombok menjadi tujuan kunjungan wisata , baik
domestik maupun wisman yang semuanya akan menuntut perhatian khusus berkaitan
dengan tuntutan konsumen, termasuk di bidang produksi pertanian. Sayuran dan
buah-buahan sebagai produk pertanian tentu akan mengikuti perkembangan di bidang
pariwiata tersebut misalnya untuk memenuhi kebutuhan hotel-hotel dan restoran
yang menuntut persyaratan khusus terutama dari aspek kesehatan dan kebersihan
produk dari bahan-bahan kimia sintetis. Hal ini merupakan tantangan dan
sekaligus peluang tersendiri bagi petani untuk mengembangkan usaha tani sayuran
dan buah-buahan dengan sistem budidaya organik.
Penutup
Hadirin yang saya hormati
Sebagai penutup saya
kemukakan beberapa simpulan dari uraian
di atas bahwa sebagai daerah tropika secara geografis ,
Indonesia menyimpan kekayaan alam yang melimpah dengan keanekaragaman
hayati dengan penduduk yang secara
demografis sebagaian terbesar hidup di
sektor pertanian, secara rasional sangat
berpotensi sebagai suatu negara besar dan kuat di bidang pertanian. Tidaklah
berlebihan atau Koes plus tidak sedang bermimpi saat melantunkan syair lagu “….
bukan lautan hanya kolam susu,
tongkat dilempar jadi tanaman …..” Namun sampai saat ini pada
kenyataannya, sektor pertanian belumlah menunjukkan kebanggaan bagi bangsa
Indonesia yang masih disibukkan dengan persoalan-persoalan lainya yang justru
mempengaruhi pembangunan di bidang pertanian ke arah yang tidak menjanjikan.
Ditambah pula dengan dampak yang ditimbulkan dari pengelolaan pertanian selama
ini yang selalu mengejar produktivitas dan pemenuhan kebutuhan pangan tanpa
memperhatikan kaedah-kaedah
keberlanjutan, yang justru memunculkan kekhawatiran, bahwa petani
semakin tidak yakin dan percaya diri terhadap keunggulan profesinya, karena
bidang pertanian dianggap tidak dapat memberikan masa depan yang lebih baik.
Melalui kesempatan yang
berbahagia ini saya menggugah hadirin agar memanfatkan potensi yang kita miliki
untuk memajukan sektor pertanian
terutama berdasarkan kaedah sistem pembangunan pertanian berkelanjutan.
Dalam konteks Pengelolaan Hama Terpadu keanekaragaman hayati yang kita miliki dapat dimanfaatkan sebagai sumber pestisida
nabati maupun hayati, demikian juga dengan kekayaan spesies serangga baik
sebagai parasitoid maupun predator dapat dioptimalkan fungsinya sebagai
pengendali alami untuk mendukung
pembangunan sistem pertanian berkelanjutan. Kita seharusnya bisa hidup
berdampingan dengan serangga, kelompok
binatang yang merupakan bagian dari komunitas ekosistem bumi yang telah menjadi
penentu keberadaan dan perkembangan ekosistem di muka bumi, karena interaksi
antara serangga dan manusia telah berlangsung sejak manusia ada. Keberadaan dan
kemampuan hidup manusia sampai saat ini sangat dibantu dan didukung oleh
keberadaan serangga. Sampai-sampai Allah SWT mengabadikan sebuah surat
dalam Al Qur’an tentang serangga yang diwakili oleh LEBAH (
An Nahl = lebah)).
“ Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah: “ Buatlah
sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon kayu, dan di temapt-tempat yang dibikin
manusia” kemudaian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah
jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar
minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang
menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda (Kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkannya.
(AnNahl 68-69)
Kaitannya dengan
keanekaragaman sumberdaya alam yang kita miliki, peluang lainnya yang sangat
penting diperhatikan adalah melimpahnya bahan organik di Indonesia yang
sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai
modal berharga dalam praktik pertanian organik yang juga sekaligus mendukung pembangunan sistem pertanian
berkelanjutan.
Dari berbagai potensi dan
peluang yang kita miliki, masih banyak kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan
pembangunan sistem pertanian berkelanjutan di Indonesia. Namun sudah saatnya
sekarang mendapat prioritas utama daripada sekedar memenuhi target peningkatan
produktivitas dan kebutuhan pangan. Paradigma baru perlu segera diwujudkan untuk mempercepat keberhasilan pembangunan
pertanian di Indonesia, bahwa penetapan teknologi spesifik lokasi yang
berkelanjutan harus lebih dipentingkan dari pada pertimbangan lain dan sejauh
mungkin menghindari pemaksanaan lahan untuk suatu komoditi dan teknologi
tertentu. Untuk itu diperlukan kerjasama dari berbagai pihak, baik pemerinah,
peneliti, pengusaha, organisasi kemasyarakatan, perguruan tingi dan masyarakat
petani sendiri.
Pembangunan pertanian
berkelanjutan hendaknya tidak hanya menjadi slogan dan isu politik, namun perlu
dijabarkan melalui program dan kegiatan nyata di lapangan.
Di era globalisasi saat
ini , kita harus akrab dengan kaedah-kaedah keseimbangan alam, namun tidak
menutup diri dengan inovasi-inovasi dan teknologi seperti bioteknologi
pertanian yang dapat membantu pencapaian
tujuan secara cepat, tepat dan berkelanjutan.
Bapak Gubernur, bapak
Rektor dan Hadirin yang berbahagia
Dari uraian panjang di
atas dapat disarikan dengan rangkaian kata
kunci bahwa pembangunan
pertanian harus mengikuti trend globalisasi dimana bioteknologi dapat
dimanfaatkan dalam penerapan PHT yang merupakan komponen pendukung sistem
pertanian berkelanjutan.
Demikianlah orasi ilmiah
yang dapat kami sampaikan di hadapan hadirin yang mulia, semoga bermanfaat bagi
kita semua. Mohon maaf atas segala kekurangan
dan terima kasih atas perhatian dan kesabarannya.
Wabillahittaufiq
wa;hidayah Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Daftar Pustaka
ACT
(Agriculture Certification Thailand ), 2001. Organic Agriculture Standards.
Organic Agriculture Certification Thailand. 27 p.
Agriculture,
Food and Rural Revitalization, 2000. Organic farming(Internet access).
Government of Saskatchewan, 30085 Albert Street, Saskachewan, Saskachewan
Agriculture and Food.
BPS,
2000. harvest Area, Production and Yield of Vegetables in Indonesia. www.bps.go.id.
Dent, D.,
1992. Insect Pest Management.C.A.B. International, Wallingford, UK. 604 p.
Glatz, R;
Roberts, H. L.S., Li; Sarjan,
M; Theopold, U. H.; Asgari, S and
Schmidt, O: Lectin-induced hemocyte inactivation in insects.Journal of
Insect Physiology ( in press)
Hallett, R.H.,
Zilahi-Balogh, R., Engerilli, N.P.D and Borden, J.H. (1993). Development of a
Pest management System for Diamonback Moth, Plutella xylostella .L
(lepidoptera: Yponomeutidae) in a Third –World Country-Considerations for
Sustainability. In Pest Control and Sustainable Agriculture. CSIRO.
Entomology. Canberra.Australia
Harwood, R.R., 1990. A
History of Sustainable Agriculture in Sustainable Agricultural Systems.
Eddited by Edwards, C.A, Rattan, L, Patrick, M, Robert, H.M and Gar House.
Luna, J.M and Garfield,
J.H., 1990. Pest Management in Sustainable Agricutural System in Sustainable
Agricultural Systems. Eddited by Edwards, C.A, Rattan, L, Patrick, M,
Robert, H.M and Gar House.
Ma, G, Roberts, H.L.S; Sarjan,
M; Featherstone, N; Lahnstein, J;
Akhurst, R and Schmidt, . Is the
mature endotoxin Cry1Ac from Bacillus thuringiensis inactivated by a
coagulation reaction in the gut lumen of tolerant Helicoverpa armigera
larvae?. Journal of Biological Chemistry ( in press)
McCoy,
Steven, 2001. Organic vegetables. A Guide to Production. Departement of
Agriculture, Western Australia. 27 p.
NOVA
Vermont, 2001. VOF Standards-Soil management . http://www.nofavt.org/sht02.stdsl.cfm
Rachman, M; Sassan, A; Sarjan,
M and Schmidt, O.,2004. Induction and
Transmission of Bacillus thuringiensis tolerance in the flour moth Ephestia
kuehniella ( Jurnal PNAS, Vol 101 No.9, 2004)
Rajakurendran,
V., 1993. Use of Bt on Vegetable Crops In Australia
Second Bacillus
thuringiensis. Meeting Canbera ( Abs) . 21 –23
September 1993.
Rasahan, C.A., 1996. Kebijakan Pembangunan Pertanian di
Indonesia menjelang pasar bebas. Makalah workshop”
Tindak lanjut pengembangan PHT di Bandung, 3-7 Nov. 1996 17 h.
Rochim
dan Rizky, 2002. Sayuran organic Penuhi Keinginan Konsumen, Majalah
Hortikultura. Jakarta. H. 24-25.
Sarjan, M., 1995. The Use of Bacillus
thuringiensis to control Spodeptera
exigua Hbn on onion. Laporan Penelitian, Fakultas Pertanian Universitas
Mataram. 17h
Sarjan, M., 2002. Resistance against endotoxin from Bacillus
thuringiensis in lepidopteran insects (Ph.D thesis, 2002)
Sarjan, M., 2003a. Immune Reactions
in the Bacillus thuringiensis Resistant
Insect (Agroteksos, Vol. 13. No. 3.
October 2003)
Sarjan, M.,2003b. Glycosilation status of Glycoproteins and Location of the Immune-realated
Proteins in the Gut of caterpillar( Jurnal Lemlit Universitas Mataram,
Oktober 2003
Sarjan, M., 2004. The potency of non-chemical syntetic insecticides in conserving predator of army worm (Spodoptera
litura F.) on soybean crop (Agroteksos, Vol. 13. No. 4. January 2004)
Sarjan, M.,?
. Are soluble hemolymph components involved in hemocytes functions? ( in
prep
Sarjan, M., ?. Are immune-induction reactions
involved in Bt-resistance mechanisms? (in prep)
Sudarwohadi, S dan Oka, I.N., 1997. Implementasi
Pengelolaan Serangga Secara berkelanjutan.Makalah disampaikan pada simposium Entomologi
Indonesia, bandung, 24-26 Juni 1997
Suryanto,
A, T.Himawan dan Sitawati, 2003. Budidaya sayuran organic melalui pendekatan
ekologi di kebun percobaan Cangar. Pada Pelatihan Dosen-dosen PN-PTS se-
Indonesia. Petanian Berkenaljutan Untuk meningkatkan Kesejahteraanh Masyarakat.
Malang 12-21 Juli 2003.
TAC
(Technical Advisory Committee), 1988. Sutainable Agricultural Production:
Implication for International Agricultural Research Consult. Group Int.
Agric.Res. Washinton.DC.
Untung,
K., 1993. Konsep Pengendalian Hama terpadu. Andi ofset. Yogyakarta. 150 h
Untung,
K., 1996. PHT menyongsong era perdagangan bebas. Makalah workshop” Tindak
lanjut pengembangan PHT di Bandung, 3-7 Nov. 1996. 8 h
Untung,
K dan Sudomo M., 1997. Pengelolaan secara berkelanjutan. Makalah disampaikan
pada simposium Entomologi Indonesia, bandung, 24-26 Juni 1997.
Wiresyamsi, A and Sarjan,
M., 1996. The potency of Bacillus
thuringiensis as a biological
control agent of major pest of vegetables. Jurnal Penelitian –Lembaga
Penelitian .Universitas Mataram
Wood,
Maria, L. Chavez and Don Comis, 2002. Organic grows on America. Agricultural
Research U.S. Departementb of Agriculture. 19 p.
CURRICULUM VITAE
A. Personal Identity :
1.
|
Name
|
: Ir.H.M.Sarjan,
M.Ag.CP., Ph.D
|
2.
|
Sex
|
: Male
|
3.
|
Place /Date of Birth
|
: Kelayu, East
Lombok/ 06 April 1962
|
4.
|
Official address
|
: Facukty of
Agriculture-University of Mataram
Jl. Majapahit 62. Mataram-Lombok
Telp. (0370) 621435 Fax: (0370)640186
|
5.
|
Home Address
|
: Jl. Danau Laut Tawar 17
Pagutan Permai Mataram,Lombok-NTB,
Phone:62-370-627237 HP. 08123706297
e-mail : janung4@yahoo.com.au
|
- Education :
University/Institute
And Location
|
Degree
|
Year
|
Field
of Study
|
Faculty
of Agriculture-University of Mataram -
Indonesia
|
Ir
|
1986
|
Agronomy
|
Faculty of Agricultural and Natural Resource
Sciences, University of Adelaide-Australia
|
M.Ag.CP
|
1994
|
Entomology
|
Faculty of Agricultural and Natural Resource
Sciences, Department of Applied Molecular and Ecology, University of
Adelaide-Australia
|
Ph.D
|
2002
|
Biological Control of Insect Pest/Biotechnology
|
C. Work
experiences :
Institustion
|
Job/position
|
Year
|
Faculty of Agriculture-University of Mataram
|
Lecturer
|
1987-Present
|
Faculty of Agriculture-University of Mataram
|
Head of Reseach development comitee (BP3F)
|
2003-2006
|
Research Institute – University of Mataram
|
PEER GROUP member
|
2003-2005
|
University of Mataram
|
Secretary of
Task Force Project TPSDP Batch II
|
2003
|
University of
Adelaide
|
Research Fellow
|
March – july 1994
|
FAO-Roma-Italia
|
Conultant for Nasional Project of Integrated Pest
Management for estate Crop
|
March – April
1995
|
Directorate General of Higher Education –Department
of National Education
|
Participant on the International Acade-mic
networking in Univ. of Victoria, Univ.
of Queen , Univ. of Guelph, Univ. of
Waterloo (Canada) and Univ. of Florida (USA)
|
October-December 1996
|
Institute for Sustainable Development Resources
|
Director
|
April 2003- 2008
|
D.
Research experiences :
- Evaluation
of Integrated Pest management practices on rice in West Lombok District
(1989)
- Distribution
of Spodoptera exigua Hubner
population on onion crop (Allium ascalonicum L) (1989)
- The
effects of continuous application of several fungicides with rotation
system , to response of in Vitro Alternaria
porri (Ell) Cif. On garlic crop ( 1990)
- Efficacy
of Bacillus thuringiensis
Berliner to army worm (Spodoptera exigua Hbn) on onion crop baed
on economic threshold (1991)
- response
of in Vitro Alternaria porri
(Ell) Cif.to several mixed fungicides and with rotation On garlic crop (1991)
- Susceptibility
of Sheep myasis flies , other than Lucilia cuprina to Bacillus
thuringiensis. (Master Thesis, 1993)
- Efficacy
of mixed Metarhizium anisopliae (Metach) SOR and buprofezin insecticide to mortality of
Brown Plant Hopper(Nilavarpata lugens Stal) (1994)
- Study of
Biology of Pareuchaetes
psudoinsulata on several important weed on peanut crop (1995)
- Bacillus
thuringiensis as a biological control agent for major
pest of cabbage (1996)
- Study of
Economic threshold of leaf roller
insect (Nezara viridula L and
Risptortus linearis F) several varieties of soybean in
Lombok Island (1996)
- Testing
of fitotoxicity of
Fenoksaprop-P-Etil herbicide on direct seedling system of
rice (Tabela) (1997)
- The
potency of non-chemical syntetic insecticides to control cabbage pest, Plutella
xylostella (1997)
- Resistance
against endotoxin from Bacillus thuringiensis in lepidopteran
insects (Ph.D thesis, 2002)
E. Scientific Publicatin :
- The use of
Bacilluis thuringiensis to control
Spodoptera exigua Hbn (Lepidoptera:Noctidae) on onion.
(1995)
- The
potency of Bacillus
thuringiensis as a biological
contro agent of major pest of vegetables
- The
potency of non-chemical syntetic
insecticides in conserving predator
of army worm (Spodoptera litura F.)
on soybean crop (Agroteksos,
Vol. 13. No. 4. January 2004)
- Are
soluble hemolymph components involved in hemocytes functions? ( in prep)
- Are
immune-induction reactions involved in Bt-resistance mechanisms? (in prep)
- Immune
Reactions in the Bacillus
thuringiensis Resistant Insect (Agroteksos, Vol. 13. No. 3. Oktober 2003)
- Glycosilation
status of Glycoproteins and Location of the Immune-realated Proteins in
the Gut of caterpillar( Jurnal Lemlit Universitas Mataram, Oktober
2003
- Induction and
Transmission of Bacillus thuringiensis tolerance in the flour moth Ephestia
kuehniella ( Jurnal PNAS, Vol 101 No.9, 2004)
F. Teaching Experiences :
Teaching for undergraduate students on
- Science of Insect Pest
- Introduction
of Crop Protection
- Biological
Control and environmental Magament
- Clinic of
Insect pest and disease
- Insect
Pathology
- Research
Methodology on Crop Pest and Disease
G. Congress, Seminar
and training
1. In country :
- Research
Methodology , University of Mataram
(1989)
- Interinship
course on Insect Pahology in Biothecnology Inter-University centre
University of Gadjah Mada
(Yogyakarta) ( 1989/1990)
- Scientific
meeting in in Biothecnology Inter-University centre University of Gadjah Mada (Yogyakarta) (1990)
- Training
Course on Agricultural Research Methodology di Bogor Agricultural
University Life Sciences Inter University Center (1996)
- National
Congress of Indonesian
Entomology Association in University of Padjadjaran, Bandung ( 1997)
- National
Congress of Indonesian Phitophatology Association in Mataram (1996)
- Practical
Workshop in Molecular Markers in Plant Breeding- Adelaide-Australia, 3-7
Juli 2000
- Seminar
on Research Direction of University of Mataram -Mataram, 9 Juni 2003
- Instructor
on Biotechnology training
-LPIU-Post IAEUP University
of Mataram in Sahid Legi Hotel
-Mataram , 14-15 July 2003
- Training
on Proposal writing on Semi QUE-V Agronomprogram study -Mataram, 30-31
June 2003
- Speaker
on 41 th Dies Natalis of University of Mataram
Seminar Mataram, 1 October 2003
with topic :“ Agricultural Biothecnology and its opportunity practices in
West Nusa Tenggara “
- Nasional
seminar on dryland rehabilitation by community empowerment in University
of Muhammadiyah-Mataram, 18 December 2003.
2. Overseas :
- Consultant on National Project of Pest
Management for Estate Crop in Rome
Italy (1995)
- Participant
in Specialized training for distance Education and Relationships between
the business and University Communities di University of Florida, USA
(1996)
- Partiicipant
in Research Management and Development Program di University of Guelph,
Canada (1996)
- Participant
in the Indonesian Teaching Institute Faculty of Education di University of
Victoria, Victoria, British Columbia ,Canada (1996)
- Participant
in Introduction to Internet and the Information Highway di Training and
development, Quality Excellent and Service , Ottawa (Canada) (1996)
- Visiting to Queens University , Kingstoon, Canada
(1996)
- Speaker
on seminar of Indonesia- Australia Student Association,South Australia 28
Oktober 2000, di Adelaide with
topic “ Integrated Pest management
(IPM): Application and its Prospect in Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)