Minggu, 22 April 2012

Lowongan Kerja 2012

ass...Pengumuman...Pentiiiing!!!!!


heheh bagi kawan2 dan smua keluarga besar Perlintan, yang ingin begabung di kepengurusan, Plant Protection Center merekrut anggota dengan syarat :

1. BKI PERLINTAN angkatan 2008-2009
2. Telah mengikuti PLT-PM
3. Lampirkan CV lengkap dan pas photo 3x4 (2 lembar)
4. Bersedia mengikuti prosedur penyeleksian
5. Bersedia ditempatkan diposisi manapun

bagi yang berminat silahkan melengkapi persyaratan di sekre Plant Protection Center, lnt 2 jurusan HPT.

hahahhhhhhhhhhaaaaaaaaaaaaa...just kidding:::

Senin, 19 Desember 2011

Sifat Kimia Tanah


pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. Ia didefinisikan sebagai kologaritma aktivitas ion hidrogen (H+) yang terlarut. Koefisien aktivitas ion hidrogen tidak dapat diukur secara eksperimental, sehingga nilainya didasarkan pada perhitungan teoritis. Skala pH bukanlah skala absolut. Ia bersifat relatif terhadap sekumpulan larutan standar yang pH-nya ditentukan berdasarkan persetujuan internasional.[1]
Konsep pH pertama kali diperkenalkan oleh kimiawan Denmark Søren Peder Lauritz Sørensen pada tahun 1909. Tidaklah diketahui dengan pasti makna singkatan "p" pada "pH". Beberapa rujukan mengisyaratkan bahwa p berasal dari singkatan untuk powerp[2] (pangkat), yang lainnya merujuk kata bahasa Jerman Potenz (yang juga berarti pangkat)[3], dan ada pula yang merujuk pada kata potential. Jens Norby mempublikasikan sebuah karya ilmiah pada tahun 2000 yang berargumen bahwa p adalah sebuah tetapan yang berarti "logaritma negatif"[4].
Air murni bersifat netral, dengan pH-nya pada suhu 25 °C ditetapkan sebagai 7,0. Larutan dengan pH kurang daripada tujuh disebut bersifat asam, dan larutan dengan pH lebih daripada tujuh dikatakan bersifat basa atau alkali. Pengukuran pH sangatlah penting dalam bidang yang terkait dengan kehidupan atau industri pengolahan kimia seperti kimia, biologi, kedokteran, pertanian, ilmu pangan, rekayasa (keteknikan), dan oseanografi. Tentu saja bidang-bidang sains dan teknologi lainnya juga memakai meskipun dalam frekuensi yang lebih rendah.
http://id.wikipedia.org/wiki/PH
REAKSI TANAH (pH)*
Pada umumnya reaksi tanah baik tanah gambut maupun tanah mineral menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion Hidrogen (H+) di dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H+ di dalam tanah, semakin masam tanah tersebut. Di dalam tanah selain H+ dan ion‑ion lain ditemukan pula ion OH-, yang jumlahnya sebanding dengan banyaknya H+. Pada tanah‑tanah masam jumlah ion H+ lebih tinggi daripada OH-. Sedangkan pada tanah alkalis kandungan OH- lebih banyak daripada H+. Bila kandungan H+ sama dengan OH- maka tanah bereaksi netral yaitu mempunyai pH 7.
Bila tanah terlalu asam atau terlalu basa maka tanaman akan tumbuh kurang sempurna sekalipun masih bisa tumbuh dan menghasilkan buah. Memang ada beberapa tanaman tertentu yang senang di tanah asam ataupun basa. Ketersediaan unsur hara makro di dalam tanah ini sedikit sedangkan hara mikro seperti Besi dan Aluminium tinggi. Hal ini mengakibatkan tanaman kekurangan hara dan keracunan.
Salah satu upaya yang ditempuh dalam upaya meningkatkan dan memperbaiki lahan masam adalah dengan menurunkan keasaman dan meningkatkan kejenuhan basa yang diperoleh dengan pemberian kapur serta pemupukan. Dengan adanya peningkatan kejenuhan basa, maka pH tanah naik dan unsur hara relatif lebih mudah tersedia.
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengatahui lebih jauh mengenai pengertian reaksi tanah, faktor yang mempengaruhi kemasaman, sifat kemasaman tanah, menentukan kemasaman tanah dan pengapuran.

Pengertian Reaksi Tanah
Reaksi tanah merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan reaksi asam atau basa dalam tanah. Sejumlah proses dalam tanah dipengaruhi oleh reaksi tanah dan biokimia tanah yang berlansung spesifik. Pengaruh lansung terhadap laju dekomposisi mineral tanah dan bahan organik, pembentukan mineral lempung bahkan pertumbuhan tanaman. Pengaruh tidak lansungnya terhadap kelarutan dan ketersediaan hara tanaman. sebagai contoh perubahan konsentrasi fosfat dengan perubahan pH tanah. Konsentrasi ion H+ yang tinggi bisa meracun bagi tanaman.
Secara teoritis, angka pH berkisar antara 1 sampai 14. Angka satu berarti kepekatan ion hidrogen di dalam tanah ada 10 ‑ 1 atau 1/10 gmol/l. Tanah pada kepekatan ini sangat asam. Sementara angka 14 berarti kepekatan ion hidrogennya 10‑14 gmol/l. Tanah pada angka kepekatan ini sangat basa.
Tanah‑tanah yang ada di Indonesia sangat bervariasi tingkat keasamannya. Ada tanah yang masam seperti Podsolik Merah Kuning, dan latosol Tanah yang alkalis seperti Mediteran Merah Kuning dan Grumosol. Bagi tanah - ­tanah yang bereaksi masam, seringkali tidak atau kurang sesuai bagi pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu pada tanah‑tanah demikian sering dilakukankan pengapuran (liming). bahan- bahan yang digunakan untuk menaikkan pH tanah yang bereaksi masam menjadi mendekati netral dengan harga pH sekitar 6,5.

Faktor Yang Mempengaruhi Kemasaman
Keasaman tanah ditentukan oleh kadar atau kepekatan ion hidrogen di dalarn tanah tersebut. Bila kepekatan ion hidrogen di dalam tanah terlalu tinggi maka tanah akan bereaksi asam. Sebaliknya, bila kepekatan ion hidrogen terIalu rendah maka tanah akan bereaksi basa. Pada kondisi ini kadar kation OH‑ lebih tinggi dari ion H+.
Tanah masam adalah tanah dengan pH rendah karena kandungan H+ yang tinggi. Pada tanah masam lahan kering banyak ditemukan ion Al3+ yang bersifat masam karena dengan air ion tersebut dapat menghasilkan H+. Dalarn keadaan tertentu, yaitu apabila tercapai kcjenuhan ion Al3+ tertentu, terdapat juga ion Al-hidroksida dengan cara sebagai berikut :
Al3+ + 3H2O ----- Al(OH)2+ + H+
Al3+ + OH- ----- Al(OH)2+
dengan demikian dapat menimbulkan variasi kemasaman tanah.
Di daerah rawa‑tawa, tanah masam umumnya disebabkan oleh kandungan asam sulfat yang tinggi. Di daerah ini sering ditemukan tanah sulfat masam karena mengandung, lapisan cat clay yang menjadi sangat masarn bila rawa dikeringkan akibat sulfida menjadi sulfat.
Kebanyakan partikel lempung berinteraksi dengan ion H+. Lempung jenuh hidrogen mengalami dekomposisi spontan. Ion hidrogen menerobos lapisan oktahedral dan menggantikan atom Al. Aluminium yang dilepaskan kemudian dijerap oleh kompleks lempung dan suatu kompleks lempung-Al‑H terbentuk dengan cepat ion. Al3+ dapat terhidrolisis dan menghasilkan ion H+:
H

lempung - Al3+ + 3H2O ---- Al(OH)3 + H-- lempung - = H+
H

Reaksi tersebut menyumbang pada peningkatan konsentrasi ion H+ dalam tanah.
Sumber keasaman atau yang berperan dalam menentukan keasaman pada tanah gambut adalah pirit (senyawa sulfur) dan asam‑asam organik. Tingkat keasaman gambut mempunyai kisaran yang sangat lebar. Keasaman tanah gambut cendrung semakin tinggi jika gambut semakin tebal. Asam‑asam organik yang tanah gambut terdiri dari atas asam humat, asam fulvat, dan asam humin. Pengaruh pirit yaitu pada oksida pirit yang akan menimbulkan keasaman tanah hingga mencapai pH 2 ‑ 3. Pada keadaan ini hampir tidak ada tanaman budidaya yang dapat tumbuh baik. Selain menjadi penghambat pertumbuhan tanaman, pirit menyebabkan terjadinya karatan (corrosion) sehingga mempercepat kerusakan alat‑alat pertanian yang terbuat dari logam.

Sifat Kemasaman Tanah
Terdapat dua jenis reaksi tanah atau kemasaman tanah, yakni kernasaman (reaksi tanah) aktif dan potensial. Reaksi tanah aktif ialah yang diukurnya konsentrasi hidrogen yang terdapat bebas dalam larutan tanah. Reaksi tanah inilah yang diukur pada pemakaiannya sehari‑hari. Reaksi tanah potensial ialah banyaknya kadar hidrogen dapat tukar baik yang terjerap oleh kompleks koloid tanah maupun yang terdapat dalam larutan.
Sejumlah senyawa menyumbang pada pengembangan reaksi tanah yang asam atau basa. Asam‑asam organik dan anorganik, yang dihasilkan oleh penguraian bahan organik tanah , merupakan konstituen tanah yang umum dapat mempengaruhi kemasaman tanah. Respirasi akar tanaman menghasilkan C02 yang akan membentuk H2CO3 dalam air. Air merupakan sumber lain dari sejumlah kecil ion H+. Suatu bagian yang besar dari ion‑ion H+ yang dapat dipertukarkan
H

H---Lempung = H+

H


Ion‑ion H+ tertukarkan tersebut berdisosiasi menjadi ion‑ion H+ bebas. Dcrajat ionisasi dan disosiasi ke dalam larutan tanah menentukan khuluk kemasaman tanah. Ion‑ion H+ yang dapat dipertukarkan merupakan penyebab terbentuknya kemasaman tanah potensial atau cadangan. Besaran dari kemasaman potensial ini dapat ditentukan dengan titrasi tanah. Ion‑ion H+ bebas menciptakan kemasaman aktif. Kemasaman aktif diukur dan dinyatakan sebagai pH tanah. Tipe kemasaman inilah yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman.

Menentukan Kemasaman Tanah
Ada beberapa alat ukur reaksi tanah yang dapat digunakan. Alat yang murah ialah kertas lakmus yang bentuknya berupa gulungan kertas kecil memanjang. Alat lain yang harganya sedikit mahal tetapi dapat dipakai berulang kali dengan hasil pengukuran lebih terjamin adalah pH tester dan soil tester.
Pemakaian kertas lakmus sangat mudah, caranya yaitu : mengambil tanah lapisan dalam, lalu larutkan dengan air murni (aquadest) dalam wadah. Biarkan tanahnya terendam di dasar wadah sehingga airnya menjadi bening kembali. Setelah bening, air tersebut dipindahkan ke wadah lain secara hati‑hati agar tidak keruh. Selanjutnya, ambil sedikit kertas lakmus dan celupkan ka dalam air tersebut. Dalam beberapa saat kertas lakmus akan berubah warna. Cocokan warna pada kertas lakmus dengan skala yang ada pada kemasan kertas lakmus. Skala tersebut telah dilengkapi dengan angka pH masing‑masing Warna. Angka pH tanah tersebut adalah angka dari warna pada kemasan yang cocok dengan warna kertas lakmus Misalnya, angka yang cocok adalah 6 maka pH‑nya 6.
Pemakaian soil tester untuk mendapat pH tanah agak berbeda dengan kertas lakmus. Bentuknya seperti pahat dan berukuran pendek. Oleh karena berbentuk padatan, ada bagian yang runcing. Bagian runcing inilah yang ditancapkan ke tanah hingga pada batas yang dianjurkan. Setelah ditancapkan, sekitar tiga menit kernudian jarum skala yang terletak di bagian atas alat ini akan bergerak. Angka yang ditunjukkan jarum tersebut merupakan pH dari tanah tersebut.
Pemakaian pH tester lebih sederhana dan soil tester penggunaannya untuk megukur nilai pH tanah di lahan yang tidak terlalu luas, sekitar 1‑2 ha. Walaupun demikian, alat ini masih bisa diandalkan. Bagian yang menunjukkan angka pH berbentuk kotak dengan jarum penunjuk angka. Bagian kotak tersebut dihubungkan dengan besi sepanjang 25 cm yang ujungnya runcing dan dilapisi logam elektroda. Besi inilah vang ditancapkan ke tanah. Jumlah besi bisa 1‑2 buah.
Penetapan pH tanah sekarang ini dilakukan dengan elektroda kaca. Elektroda ini terdiri dari suatu bola kaca tipis yang berisi HCL. encer, dan di dalamnya disisipkan kawat Ag‑AgCl, yang berfungsi sebagai elektrodanya dengan tegangan (voltase) tetap. Pada waktu bola kaca tersebut itu dicelupkan ke dalam suatu larutan, timbul suatu perbedaan antara larutan di dalam bola dan larutan tanah di luar bola kaca. Sebelum pengukuran pH dilakukan, kedua elektroda pertama‑tama harus dimasukkan ke dalam suatu larutan yang diketahui pH‑nya (misalnya konsentrasi ion H+ = 1 g/L). Kegiatan ini disebut pembakuan elektroda dan petunjuk pH (pH meter).
Dalam pengukuran pH, elektroda acuan dan elektroda indikator dicelupkan ke dalam suspensi tanah yang heterogen yang terdiri atas partikel‑partikel padat terdispersi dalam suatu larutan aquadest. Jika partikel‑partikel padat dibiarkan mengendap, pH dapat diukur dalam cairan supernatant atau dalam endapan (sedimen). Penempatan pasangan elektroda dalam supernatant biasanya memberikan bacaan pH yang lebih tinggi dari pada penempatan dalam sedimen. Perbedaan dalam bacaan pH ini disebut pengaruh suspensi. Pengadukan suspensi tanah sebelum pengukuran tidak akan memecahkan masalah tersebut, karena prosedur ini memberikan bacaan yang tidak stabil.

Kesimpulan
Reaksi tanah menunjukkan keasaman dan kebasaan tanah dan dinyatakan sebagai pH. Keasaman tanah ditentukan oleh kadar atau kepekatan ion hidrogen yang beredar di dalam tanah tersebut. Bila kepekatan ion hidrogen (H+ ) di dalam tanah tinggi maka tanah disebut asam Sebaliknya, bila kepekatan ion hidrogen terlalu rendah maka tanali disebut basa. Pada kondisi ini kadar kation OH‑ lebih tinggi dari H+.
Reaksi tanah dibedakan menjadi kemasaman (reaksi tanah) aktif dan potensial. Reaksi tanah aktif ialah yang diukurnya konsentrasi hidrogen yang terdapat bebas dalam larutan tanah. Reaksi tanah potensial ialah banyaknya kadar hidrogen dapat tukar baik yang terjerap oleh kompleks koloid tanah maupun yang terdapat dalarn larutan.
Tanah masam karena kandungan H+ yang tinggi dan banyak ion AL3+ yang bersifat masam karena dengan air ion tersebut dapat menghasilkan H+. Di daerah rawa‑rawa atau tanah gambut, tanah masam umumnya disebabkan oleh kandungan asam sulfat yang tinggi.
Pengapuran merupakan salah satu cara untuk memperbaiki tanah yang bereaksi asam atau basa. Tujuan dari pengapuran adalah untuk menaikkan pH tanah sehingga karenanya unsur‑unsur hara menjadi lebih tersedia, memperbaiki struktur tanahnya sehingga kehidupan organisme dalam tanah lebih giat, dan menurunkan kelarutan zat‑zat yang sifatnya meracuni tanaman dan unsur lain tidak banyak terbuang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Kimia Tanah
Kemasaman tanah yang digunakan dalam penelitian beragam dari agak masam sampai sangat masam dengan pH-H2O (1:2,5) dan pH KCl (1:2,5) antara 4,00 sampai 5,15 (R2) dan 2,30 sampai 2,52 (R4). Semakin reaktif sifat reaksi tanah semakin masam. Reaktifitas tanah yang kuat menunjukan kadar pirit yang tinggi.

Jumat, 25 November 2011

kumbang pertanian, BT, dan PHT

semangat apa yang telah engkau tanamkan???
kaU mencoba kritis dengan ketidak mampuanmu???
sebelum kau mau merubah sesuatu bangunlah kekuatan terlebih dahulu dalam dirimu...
jangan engkau menggapai bintang dengan lukisan yang telah ternoda...
kaU tidak akan mengerti, jika kaU bukan orang yang peka...

miskin bukan pilihan, perjuangan baru dimulai, tapi siapa yang memberi jaminan???
Siapa yang peduli dengan ketidak sanggupanmu, keterbatasanmu, kemampuanmu, semua akan lancar jika kaU punya uang sebanyak-banyak.a...

miskin bukan pilihan...
tapi siapa yang bertanggung jawab???


PENGELOLAAN HAMA TERPADU
(PERTARUNGAN ANTARA TEKNOLOGI KONVENSIONAL VERSUS MODERN) DALAM RANGKA PENCAPAIAN PRODUKSI PERTANIAN SECARA KUANTITATIF DAN KUALITATIF


Orasi Ilmiah
Disampaikan pada Upacara Dies Natalis ke 42
            Universitas Mataram
2 Oktober 2004


Oleh

Ir. M. Sarjan, M.Ag.CP., Ph.D

(Dosen dan Peneliti bidang Pengendalian Hayati Hama pada Program Studi Hama  dan Penyakit Tumbuhan-Fakultas Pertanian
Universitas Mataram )


DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS MATARAM
2004
Yang terhormat :
Bapak Gubernur  Nusa Tenggara Barat
Bapak Rektor Universitas Mataram
Anggota Senat Universitas Mataram
Bapak Ketua DPRD Nusa Tenggara Barat
Bapak-bapak Anggota Muspida Propinsi Nusa Tenggara Barat
Bapak-bapak perwakilan Universitas/ PerguruAN Tinggi Swasta se NTB
Bapak-bapak Pejabat Sipil dan Militer Nusa Tenggara Barat serta
Para undangan hadirin dan hadirat  yang saya hormati pula

Assalamu’alaikum Warakhmatullahi Wabarakatuh

Pada kesempatan yang berbahagia ini marilah kita memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah  SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kita sekalian. Kita harus mensyukuri pula atas berbagai nikmat, diantaranya berupa kekayaan sumberdaya alam yang dilimpahkan-Nya serta atas kesempatan dan kemampuan yang kita peroleh untuk mengelola dan memanfaatkannya, walaupun hingga saat ini masih belum mencapai hasil yang optimal. Salam dan salawat kepada junjungan  nabi besar Muhammad SAW

Terima kasih saya ucapkan kepada Rektor serta panitia Dies Natalis Universitas Mataram yang ke 42 yang telah memberikan penghargaan kepada saya untuk menyampaikan pidato ilmiah pada kesempatan yang berharga ini. Semoga Universitas Mataram akan semakin menunjukkan kemajuan  sebagai Lembaga Pendidikan  Tinggi Negeri   kebanggaan  masyarakat NTB dan akan lebih  mampu mengejar ketinggalannya dari beberapa Perguruan Tinggi yang seusia hampir setengah abad ini.   

Para hadirin yang kami hormati,

Tema yang diangkat pada  acara Dies Natalis Unram ke 42  saat ini adalah ”PERGURUAN TINGGI BERKUALITAS UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN .” Berkaitan dengan tema tersebut maka saya mencoba untuk menyampaikan pemikiran  di bidang pertanian dalam bentuk pidato ilmiah dengan topik : “PENGELOLAAN HAMA TERPADU DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN DI ERA GLOBALISASI 

Pertama-tama marilah kita bandingkan dua model pertanian dari aspek keberlanjutan sistem yang pernah ada di Indonesia yaitu :
Sistem tradisional (Pertanian alami) : Kenyataan  mengungkapkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia telah bercocok tanam sejak jaman dulu pada saat jumlah manusia sedikit, lahan luas, air cukup ,varietas unggul (lokal) berlimpah, tahan hama/penyakit, tidak pernah ada pemupukan dan pemberantasan hama, produksi mencukupi, petani sejahtera dengan umur yang panjang. Degradasi lahan diatasi melalui sistem perladangan berpindah (shifting cultivation). Pada sistem ini interaksi antara tanah dengan kehidupan di dalamnya berlangsung secara seimbang dan mencapai suatu suksesi, sehingga diperoleh kehidupan yang stabil dan berkelanjutan. Sistem hara-tanaman bersifat daur tertutup (closed nutrient recycling). Dalam hal ini tidak ada atau sedikit sekali masukan hara dari luar sistem (low external nutrient input). Masukan hara berasal dari daur ulang sisa kehidupan (jasad mati) atau berasal dari udara atau air yang masuk ke dalam sistem

 Sistem Modern (Revolusi Hijau): Diawali dari Eropah, dan Indonesia dimulai pada tahun 1970-an hingga saat ini, melalui program Padi-Sentra,Bimas, Inmas, Insus, Supra-Insus, Gema-Palagung, Ketahanan Pangan. Konsep awal adalah untuk mengatasi masalah pertambahan penduduk yang berlangsung seperti deret ukur, sementara pertambahan pangan seperti deret hitung, diperlukan revolusi melalui rekayasa genetika, melalui varietas unggul berumur pendek dengan produktivitas tinggi. Varietas ini respon pupuk tetapi peka terhadap hama/penyakit, lalu berkembanglah industri pupuk dan pestisida. Penggunaan pupuk dan pestisida secara tidak rasional berdampak pada produktivitas mengalami “ levelling off” dan serangan hama sulit dikendalikan, terjadi kerusakan lingkungan karena tercemar. Masukan hara dari luar yang tinggi (high external nutrient input) telah menyebabkan degradasi kesuburan tanah. Akibatnya sifat fisik, kimia dan biologi tanah terganggu dan produktivitas tanaman mengalami stagnasi serta berdampak negatif terhadap lingkungan. Kondisi seperti ini yang memunculkan gagasan dan konsep sistem pertanian berkelanjutan ( Sustainable agriicultural systems ).

Dalam konteks pembangunan sistem pertanian berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya pertanian juga dilaksanakan dalam satu pola yang menjamin kelestarian lingkungan hidup, menjaga keseimbangan biologis, memelihara kelestarian dan bahkan memperbaiki kualitas sumberdaya alam sehingga dapat terus dimanfaatkan, dan menerapkan model pemanfaatan sumberdaya yang efisien (Harwood, 1990; TAC, 1988). Penerapan model Pengelolaan Hama terpadu (PHT) merupakan salah satu  wujud nyata  kebijaksanaan dalam mendukung  pembangunan pertanian berkelanjutan tersebut baik secara nasional maupun Internasional. Demikian juga dari aspek dukungan hukum dan realita  global yang  membawa konsekuensi akan mengharuskan kita untuk mererapkan prinsip-prinsip dasar tersebut di atas. Oleh karenan itu pada kesempatan ini akan saya sampaikan pemikiran  prinsip, strategis dan potensi serta peluang yang perlu dicermati untuk mensukseskan implementasi pembangunan sistem pertanian berkelanjutan melalui praktik pengelolaan hama terpadu .

Bapak Gubernur,  Bapak Rektor dan para hadirin yang saya  hormati

Dalam menghadapi tantangan perdagangan bebas antara negara-negara Asean (AFTA) sejak tahun 2003 yang lalu, Asia Pasific ( APEC) dan organisasi perdagangan dunia (WTO) pada tahun 2010, sektor pertanian dihadapkan pada kondisi yang kurang mendukung, yaitu: (1) kemampuan sumberdaya manusia yang relatif rendah; (2) lahan serta sarana dan prasarana pertanian yang semakin langka; dan (3) tingginya biaya investasi pertanian di lahan baru. Aktiivitas sektor pertanian yang dilakukan oleh penduduk dan terkonsentrasi pada wilayah padat populasi, yang sebagian besar dilakukan secara tidak ramah lingklungan karena tekanan ekonomi, telah menyebabkan berbagai kerusakan sumberdaya pertanian ( Rasahan, 1996). Hal ini terlihat pada banyak wilayah yang kurang subur dengan kondisi yang tidak stabil, khususnya pada daerah lahan kering dan lahan pasang surut.

Pasar Internasional telah mensyaratkan “label ekologi (eco-labelling)” untuk berbagai jenis komoditas, yang harus diproduksi dengan proses ramah lingkungan. Produk tersebut dinamakan produk yang “eko-efisien atau produk bersih “ ( Untung, 1996). Dalam menerapkan pembangunan berkelanjutan, KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brasil pada tahun 1992 telah menetapkan Agenda 21.  dalam Agenda 21, bagian II, bab 14 dari “ Promoting Sustainable Agriculture and Rural development” disebutkan ada 12 program pertanian berkelanjutan yang harus diterapkan oleh setiap negara. Salah satunya yang terpenting adalah Pengelolaan dan pengendalian hama terpadu (PHT)  atau Integrated Pest management dalam bidang pertanian (butir 1). Dengan demikian , penerapan PHT merupakan satu bagian yang penting dari sisitem usahatani berkelanjutan secara global.  Secara Nasional di Indonesia  telah diaplikasikan PHT pada berbagai komoditas terutama setelah diterapkannya PHT sebagai satu-satunya  kebijakan dalam perlindungan tanaman yang didukung  dengan dikeluarkannya UU 12/1992 tentang sistem Budidaya Tanaman, PP No 5/1996 tentang perlindungan tanaman, Inpres 3/1986  tentang pengendalian hama wereng coklat .

Para hadirin yang saya  hormati

Konsep dan Prinsip Pengelolaan Hama Terpadu (PHT)

Pengelolaan Hama terpadu (PHT) adalah suatu cara pendekatan, cara berfikir atau falsafah pengendalian hama yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang bertanggung jawab ( Untung, 1993). Konsep  Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) merupakan suatu pemikiran atau cara pendekatan pengendalian hama yang secara prinsip berbeda dengan konsep pengendalian hama secara konvensional yang sangat tergantung pada penggunaan pestisida. Konsep PHT timbul dan berkembang di seluruh dunia karena kesadaran manusia terhadap bahaya penggunaan pestisida yang terus meningkat bagi kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidup. Kesadaran global akan pentingnya kualitas lingkungan hidup sebagai bagian pemenuhan kesejahteraan hidup telah mendesak akan perlunya diadakan perubahan mendasar tentang berbagai penggunaan bahan kimia berbahaya seperti pestisida. Apabila penggunaan pestisida harus dikurangi maka masalah yang kemudian muncul dan dihadapi oleh petani adalah bagaimana cara penggunaan pestisida dapat dikurangi tetapi kehilangan atau kerugian hasil akibat serangan hama dapat dihindari. Konsep PHT merupakan alternatif yang tepat untuk menjawab dilema tersebut, karena PHT bertujuan membatasi penggunaan pestisida sesedikit mungkin tetapi sasaran kualitas dan kuantitas produksi pertanian masih dapat dicapai (Luna and Garfield, 1990) .

Untung (1995) menyebutkan beberapa prinsip teknologi PHT yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari sistem usahatani yang berkelanjutan yaitu :
(1)        Pengelolaan ekosistem pertanian dengan perpaduan optimal teknik-teknik pengendalian hama dan meminimalkan penggunaan pestisida sintetis yang berspektrum luas.
(2)        Promosi dan dukungan pengendalian hayati yang dapat menekan populasi hama sampai pada aras keseimbangan
(3)        Kegiatan-kegiatan lapangan PHT seperti pemantauuan, analisis ekosistem, pengambilan keputusan dan interval pengendalian hama.
(4)        Teknologi PHT harus bersifat lokasi spesifik dan sesuai dengan keadaan sosial-ekonomi masyarakat.
(5)        Teknologi PHT adalah praktis, mudah dipelajari dan diadopsi oleh petani yang kemungkinan kondisi lapangannya berbeda-beda. 

Hadirin yang  berbahagia

Saya memahami bahwa banyak diantara kita berpola pikir  seperti kebanyakan petani khususnya di negara–negara berkembang seperti Indonesia yang masih  melaksanakan cara-cara pengendalian  dengan pendekatan supresif dan eradikatif yang dianggap paling berhasil meningkatkan produksi pertanian tanpa mempertimbangkan faktor ekologi  seperti pada pengelolaan hama terpadu di atas.

Konsep Pengendalian Hama Secara Konvensional


Kenyataan menunjukkan bahwa tindakan pengendalian hama yang menggunakan satu taktik saja dapat memberikan hasil pengendalian yang efektif. Namun sebaliknya, seringkali timbul berbagai masalah akibat tindakan sepihak khusunya pengendalian secara kimiawi saja (pengendalian secara konvensional). Oleh karena itu tindakan yang demikian bukanlah cara pendekatan yang baik dan benar, terbukti bahwa efektivitas dan efisiensi pestisida dalam pengendalian hama semakin lama semakin menurun, bahkan timbul berbagai masalah baru yang lebih sulit untuk diatasi.
            Ciri-ciri pengendalian hama secara konvensional adalah sebagai berikut ( Sastrosiswojo dan Untung, 1994).:
1)      Tujuan pengendalian hama adalah untuk meberantas dan memusnahkan hama semaksimal mungkin agar program peningkatan produksi tanaman tidak terganggu.
2)      Usaha pemberantasan hama yang paling baik adalah dengan melindungi tanaman dengan bahan kimia yang beracun (pestisida) agar hama tidak mampu menyerang tanaman. Azaz preventif ini dilaksanakan dengan program penyemprotan pestisida berjadwal (sistem kalender).
3)      Karena sasarannya adalah pemberantasan dan pelaksanaannya  mengikuti azaz preventif, maka ketergantungan terhadap pestisida organik sintetis berspektrum luas menjadi  semakin besar.
4)      Alternatif pemberantasan hama bukan antara satu teknik pengendalian dengan teknik pengendalian lainnya, tetapi kebaikan suatu cara pemberantasan yaitu jenis pestisida yang memberikan hasil yang efektif (cepat dan banyak membunuh hama), caranya mudah serta harganya terjangkau.
5)      Pengambilan keputusan pelaksanaan pengendalian tidak dilakukan atas pengamatan dan keadaan lapangan (ekosistem) tetapi atas dasar yang telah ditentukan yang merupakan paket teknologi budidaya tanaman yang direkomendasikan. Keadaan ekosistem termasuk populasi hama, populasi musuh alami, keadaan tanaman dan keadaan cuaca  serta kelayakan sosial ekonomi kurang dipertimbangkan dalam memutuskan penggunaan pestisida.
6)      Program pengendalian hama dan budidaya tanaman pada umumnya kurang dilandasi oleh pengetahuan dan keterampilan yang cukup tentang tanaman, ekosistem dan prinsip budidaya tanaman yang bernalar. Petani lebih mengandalkan diri pada intuisi mereka, hasil empirik atau yang berasal dari sumber-sumber lain yang kurang tepat dan mempunyai konsisi yang sama dengan mereka.
7)      Teknologi pengendalikan hama diterapkan secara seragam baik secara spasial (antar tempat) maupun temporal (antar waktu) oleh para pelaksana pengendalian (petani atau perusahaan pertanian /perkebunan) dan tidak disesuaikan dengan keadaan ekosistem serta kemampuan sosial ekonomi masyarakat. Pendekatan ini diikuti  untuk memudahkan perencanaan dan koordinasi serta pengawasan pelaksanaan penendalian hama.
8)      Program pengendalian hama dan perlindungan tanaman pada umumnya masih dianggap sebagai suatu bagian yang mandiri dari program produksi tanaman guna mencapai sasaran peningkatan produksi dan penghasilan petani. Pendekatan fragmental menurut sektor atau bidang pembangunan serta menurut bidang disiplin ilmu seakan-akan menganggap timbul dan berkurangnya serangan hama merupakan peristiwa yang berdiri sendiri dan penanggulangnya  dianggap merupakan urusan dan tanggung jawab para penentu keputusan/petugas lapangan/pakar perlindungan tanaman.

Bapak Gubernur, Bapak Rektor  dan  hadirin yang saya hormati

Setelah bertahun-tahun kita berusaha menerapkan teknologi pengelolaan hama terpadu masih banyak faktor yang menjadi kendala antara lain faktor manusia itu sendiri / petani  sebagai pengelola yang secara umum masih menderita penyakit yang disebut dengan ” Entomofobia”. Entomofobia  bermakna fobi  atau ketakutan berlebihan terhadap serangga  artinya sebagian besar petani masih belum mampu membedakan antara serangga sebagai hama atau pengganggu tanaman dengan serangga sebagai musuh alami yang bermanfaat. Para petani  masih sangat mengandalkan insektisida kimia sebagai alat pengendali dengan tujuan untuk memberantas serangga yang ada pada agroekosistem tanpa memperdulikan dampak negatif yang ditimbulkan khususnya terbunuhnya serangga dari golongan musuh alami. Hal ini secara sosial budaya sangat sulit dihindari karena pemahaman masyarakat umumnya mengenai serangga masih bersifat negatif, yaitu sebagai musuh manusia, karena sebagai hama dan vektor penyebab penyakit yang membahayakan. Akibatnya petani masih mengandalkan senjata pamungkas yang bernama insektisida kimia. Kondisi ini tentu merupakan salah satu kendala yang sangat penting dalam implementasi Pengelolaan Hama terpadu di Indonesia. Untuk mengurangi masalah tersebut sebenarnya telah dilaksanakan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) yang dicanangkan secara nasional untuk beberapa komiditas di berberapa propinsi sejak tahun 1989. Tujuan dari SLPHT adalah untuk mengubah perilaku fundamental petani dari pengendalian serangga pengganggu yang tergantung pada penggunaan insektisida menjadi pengelolaan serangga berdasarkan ciri dan mekanisme alami ekosistem pertanian.  Program pelatihan petani melalui SLPHT merupakan contoh atau model peningkatan kualitas SDM dan penerapan pendekatan holistik yang telah dioperasikan. Namun untuk meningkatkan kualitas SLPHT masih diperlukan kegiatan-kegiatan penelitian yang mendukung teknologi yang dilatihkan di SLPHT. Di samping itu agar konsep PHT dapat efektif dilakukan di seluruh Indonesia diperlukan dukungan kelembagaan yang penuh dari lembaga-lembaga yang ada di pemerintah dan masyarakat ( petani, kelompomk tani dan LSM).

Kalau kita perhatikan butir-butir prinsip PHT di atas yang pada intinya adalah  bagaimana upaya mengurangi penggunaan pestisida dalam pengendalian hama dengan mengoptimalkan fungsi pengendalian secara alami.  Kajian-kajian ke arah itu  sebenarnya telah banyak dilakukan baik di tingkat laboratorium maupun lapangan, misalnya  pemanfaatan insektisida non-kimiawi sintetis  yang mampu mengendalikan berbagai jenis hama. Demikian juga dengan pemanfaatan agen pengendali hayati yang paling berkembang dan sudah tersebar secara komersial misalnya, bakteri  Bacillus thuringiensis telah digunakan untuk mengendalikan hama-hama penting  dari ordo lepidoptera seperti Plutella xylostella dan Crocidolomia binotalis pada tanaman kubis (Rajakulendran, 1993; Gahan et al, 2001; ) dan Spodoptera exigua Hbn pada tanaman bawang merah (Sarjan, 1995). Dengan insektisida nabati seperti nimba berdasarklan hasil penelitian Mujiono et al (1993) menunjukkan bahwa bahan tersebut memiliki kemempanan yang lebih tinggi daripada insektisida kimia sintetis dalam menekan hama P. xylostella. Namun dalam penerapannya baik insektisida hayati maupun nabati belum banyak dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu untuk memperluas penggunaan insektisida non kimiawi sintetis di lapangan  Sarjan (2004) telah melakukan penelitian konservasi musuh alami pada tanaman kedelai. Pemanfaatan agen pengendali hayati   Bacillus thuringiensis (Sarjan, 1995  ; Wiresyamsi dan Sarjan, 1996) telah dilakukan pada tingkat aplikasi yang mampu menurunkan penggunaan pestisida dan tetap mampu mempertahankan produksi.
Hasil-hasil yang telah dicapai oleh program nasional PHT secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut ( disadur dari Sudarwohadi dan Oka, 1997).
  1. Peningkatan Sumberdaya Manusia (SDM)
terlatih PHT (sampai dengan Februari 1997) adalah :
    1. Pengamat Hama Penyakit  (PHP) : 506 (padi) + 116 (sayuran) = 622 orang
    2. Petugas Penyuluh Lapangan (PPL): 1.012 (padi) + 185 (sayuran) = 1.197 orang
    3. Petani :
                                                              i.      Petani Pemandu (HPT padi) ; 14.042 orang
                                                            ii.      Petani SLPHT : 399.477 (padi) = 12.290(sayuran)= 411767 orang
  1. Pengurangan rata-rata penggunaan pestisida
    1. PHT padi  : 60% ( insektisida)
    2. PHT kubis 
                                                              i.      Insektisida : 81 %
                                                            ii.      Fungisida   : 96 %
    1. PHT kentang
                                                              i.      Insektisida : 89%
                                                            ii.      Fungisida  : 81%
  1. Peningkatan hasil panen sayuran (tahun 1994):
    1. PHT-kubis  : 7.6%
    2. PHT-kentang  : 24.4%
  2. Peningkatan keuntungan bersih sayuran (tahun 1994)
    1. PHT-kubis : Rp 2.796.000.,/ha
    2. PHT-kentang Rp 1.889.000.,/ha




Hadirin yang saya  hormati

Pertanyaannya adalah “Apakah  masih relevan kita berfikir dan menerapkan Pegelolaan Hama Terpadu dalam konteks sistem pertanian berkelanjutan pada kondisi dimana dunia sedang berpacu mengejar produktivitas dengan perlombaan teknologi mutahir ?” . Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi, maka saya optimis apa yang diharapkan dalam  PHT akan  dapat dicapai  mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi di bidang lainnya, termasuk pemanfaatan Bioteknologi dalam perlindungan tanaman.

Bioteknologi di bidang Pengendalian secara hayati


Pertanian sedang menuju ke bentuk revolusi yang lain , namun saat ini lebih besar pada revolusi genetik yang dinyatakan sebagai revolusi teknologi ketiga mengikuti revolusi di bidang industri dan komputer. Walaupun Bioteknologi bukan merupakan kompopnen PHT, tapi sebagai alat inovativ dimana dengan hasil-hasil bioteknologi akan membantu menyediakan sarana yang lebih efektif dan efisien dalam pelaksanaan PHT. Teknologi maju di bidang kimia, biokimia, molekuler genetik dan rekayasa genetik telah menghasilkan bahan-bahan dan produk yang kurang toksik dan berbahaya bagi manusia dan lingkungan., dibandingkan dengan insektisida kimia konvensional. Produk-produk ini termasuk rekayasa genetik tanaman yang lebh aman terhadap hama dan penyakit, tanaman dan musuh alami hama yang cukup toleran terhadap pestisida yang semuanya akan menjadi potensi yang tepat dengan konsep Pengelolaan hama secara modern.

Salah satu contoh produk bioteknologi yang sedang digalakkan saat ini adalah  Transgenic Plant” pada beberapa produk pertanian seperti kapas, jagung dan bahkan pada tanaman padi. Prinsip bioteknologi ini adalah memanipulasi tanaman dengan memasukkan gen pengendali hayati (Bt-toksin). Tanaman itu merupakan hasil rekayasa gen dengan cara disisipi satu atau sejumlah gen. Gen yang dimasukkan itu - disebut transgene - bisa diisolasi dari tanaman tidak sekerabat atau spesies lain sama sekali. Karena berisi transgene tadi, tanaman itu disebut genetically modified crops (GM crops). Atau, organisme yang mengalami rekayasa genetika (genetically modified organisms, GMOs).
Transgene umumnya diambil dari organisme yang memiliki sifat unggul tertentu. Misal, pada proses membuat jagung Bt tahan hama, pakar bioteknologi memanfaatkan gen bakteri tanah Bacillus thuringiensis (Bt) penghasil racun yang mematikan bagi hama tertentu. Gen Bt ini disisipkan ke rangkaian gen tanaman jagung, sehingga tanaman resipien (jagung) juga mewarisi sifat toksis bagi hama. Ulat atau hama penggerek jagung Bt akan mati. Begitu pun racun pada kapas Bt dapat membunuh boll-worm, hama perusak tanaman kapas.
Dengan teknik ini, tidak diperlukan penyemprotan biopestisida, karena tanaman itu sendiri telah mengandung gen biopestisida. Tansgenic Bt crop telah mulai dilaksanakan sejak awal 1990 an di beberapa negara maju dan transgenic Bt pada tanaman padi dimulai sejak tahun 1997. Berikut beberapa contoh Transgenic Insecticidal Cultivars (TIC) yang telah dikomersalkan di beberapa negara dengan merek dagang yang beragam.

BACILLUS THURINGIENSIS CROP YANG SUDAH DIKOPMERSIALKAN

Diperkirakan bahwa nilai perdagangan dunia tanaman GE akan meningat terus sebesar  $ 8 miliar pada tahun 2005 dan sekitar $25 miliar pada tahun 2010. Jumlah negara yang menanam tanaman transgenic juga meningkat dari hanya 1 negara pada th 1992 menjadi 13 negara pada tahun 1999. Antara tahun  1996-2000 luas pertanaman tanaman transgenic meningkat menjadi lebih 25 kali lipat, dari 1,7 juta ha pada tahun 1996 menjadi 44,2 juta ha pada th 2000. Tiga negara ( US, Canada dan Argentina) menanam sebanyak 98% dari total luas tanam, Negara-negara yang sudah mengkomersiakan tanaman  GE ( dan persentasi keseluruhan tanaman transgenic) pada tahun 1999 adalah : US, 30,3 juta ha ( 68%); Argentina , 10,0 juta ha (23%); Canada, 3,0 juta ha (7%); China, 0,5 juta ha (1%); dan Australia dan Afrika, masing-masing kurang dari 0,2 juta ha (   0,5%). Adopsi teknologi baru ini seperti teknologi lainnya sangat pesat pada negara-negara industri, tapi proporsi penanaman tanaman transgenic di negara-negara berkembang  juga selalu meningkat dari 14% th 1997 menjadi 16% th 1998, menjadi 18% th 1999, dan 24% pada th 2000. Data-data tersebut menunjukkan bahwa terjadi perkembangan yang pesat pada  penerapan bioteknologi di bidang pertanian , dan  berikut ini disajikan contoh-contoh tanaman transgenik yang sudah dikomersialkan dan sedang dikembangkan .


Tanaman kentang

Pada th 1995, Bt- potato ( NewLeaf TM, Mosanto, St Louis, MO, USA), merupakan Bt
-crop pertama yang dikomersialkan. Tanaman kentang ini direkayasa mengandung Cry3A protein untuk mengendalikan hama jenis kumbang (Colorado potato beetles). Pengggunaan insektisida diperkirakan menurun sampai 40% pada areal ini pada tahun 1997. Produk ini suidah dicoba di beberapa negara seperti Canada, Jepang, Mexico dan Georgia.

Tanaman kapas.

Pada th 1996, Bt-cotton (Boolgard TM, Monsanto) sudah disebarkan untuk mengendalikan hama penggerek kapas ( Heliothis sp). Tanaman ini mengandung Cry IAc protein yang pada tahun 1997 menunjukkan peningkatan hasil sebesar 14% dengan penurunan pengunaan insektisida kimia sebanyak 300.000 gallon, serta sudah dicoba di negara seperti  Australia, China, Mexico, Afrika selatan dan USA.

Tanaman jagung


Beberapa perusahaan telah megembangkan Bt-maize dan dikomersialkan sejak 1996 oleh: Novarties, Basel, Switzerland (Yieldgard TM, Knockout TM, dan Bitegard TM ) Mycogen, San  Diego, CA, USA (Naturegard TM ), Monsanto(Yieldgard TM ) dan DEKALB genetics, IL, USA( Bt-Xtra TM ).Kecuali Bt-Xtra TM semua mengandung CryIAb protein. Pada penelitian lapangan BT-maize megendalikan 99% generasi pertama penggerek tongkol. sudah disebarkan ke negara Argentina, Canada, Jepang USA dan negara-negara Eropa.

Tanaman padi .

Di India merupakan penelitian pertama transgenik plant pada kelompok cereal termasuk padi yang mengandung Bt CryIAc protein dalam pengendalian hama penggerek batang padi (Scirpophaga incertulas).
Di Indonesia pun pengembangan tanaman transgenik kini masih dilakukan, terutama di tingkat litbang (Deptan, Batan, LIPI, dan BPPT). Komoditasnya meliputi produk dari luar negeri dan produk dalam negeri.

Dalam perkembangannya terjadi pro-kontra mengenai produk bioteknologi tersebut terutama kaitannya dengan dampak negatif yang ditimbulkan, misalnya “ apakah tanaman tansgenik tersebut bisa berkembang justru menjadi tanaman yang peka terhadap hama atau dengan kata lain hama yang menyerang akan tahan terhadap bahan aktif yang terkandung dalam tanaman transgenik” .  Ilmuwan menyadarai bahwa tidak ada suatu teknologi yang benar-benar 100% aman, sehingga akan selalu dipertimbangkan potensi-potensi manfaat dan resiko yang  diakibatkan oleh teknologi tersebut. Kondisi seperti ini merupakan peluang yang sangat besar bagi ilmuwan bioteknologi disamping untuk mengembangkan juga untuk selalu menggali dan mencari alternativ-alternativ yang mampu memberikan solusi dari resiko yang akan ditimbulkan oleh hasil bioteknologi. Sebagai contoh untuk mengatasi kemungkinan terjadinya ketahanan hama terhadap  tanaman transgenik, Sarjan (2003) menawarkan alternatif STRATEGI PENGELOLAAN KETAHANAN HAMA TERHADAP  BT  DENGAN REKOMBINAN LECTIN. Dalam model ini dijelaskan bahwa resistensi serangga terhadap Bt disebabkan oleh meningkatnya jumlah protein koagulasi yang menghambat masuknya toksin ke membran (Glatz et al ; Ma et al; Rachman et al, 2004 ; Sarjan, 2002; Sarjan, 2003 a; Sarjan, 2003b). Lectin merupakan kelompok glykoprotein yang diisolasi dari berbagai hewan dan tanaman, dan beberapa diantaranya dapat menghambat atau merurunkan protein koagulasi dalam usus serangga, sehingga menyebabkan toksin Bt akan mampu sampai ke membran yang selanjutnya mematikan serangga tersebut. Dengan keragaman flora dan fauna yang dimiliki oleh Indonesia sebagai negara trofis sangat berpotensi sebagai sumber lectin yang bisa digunakan baik untuk mencegah terjadinya ketahanan serangga terhadap Bt toksin maupun untuk  bahan insektisida alami. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan molekuler yang bertujuan untuk mengembangkan strategi pengelolaan resistensi serangga terhadap Bt, yaitu untuk menghindari terjadinya resistensi Bt di lapangan  atau untuk  mengurangi resistensi yang telah terjadi baik pada tanaman transgenik maupun non-transgenik.


Hadirin yang saya  hormati 

Seperti saya kemukakan di  awal , pada bagian terakhir pidato ilmiah ini  akan mencoba melihat potensi serta peluang yang perlu dicermati untuk mensukseskan implementasi pembangunan sistem pertanian berkelanjutan melalui praktik pengelolaan hama terpadu. Dalam hal ini akan saya paparkan hubungan antara pertanian organik yang sudah menjadi  trend global  dalam pembangunan pertanian berkelanjutan dengan upaya pengelolaan hama terpadu.

Seiring dengan makin tumbuhnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan dan kesehatan, maka saat ini telah dikembangkan suatu model alernatif yang lebih aman dan menjanjikan yaitu dengan sistem pertanian organik. Tujuan utama pertanian organik adalah mengembangkan kegiatan produksi berkelanjutan serta harmonis dengan lingkungan (Agriculture, Food and Rural Revitalization, 2002) yang mengenalkan suatu ekosistem kehidupan yang komplek, dimana tanah merupakan ekosistem kehidupan yang dinamis. Sayuran organik sebagai contoh merupakan sayuran yang dihasilkan dari sistem budidaya organik, yaitu budidaya pada tanah yang subur dengan tingkat humus dan aktifitas biologi yang tinggi dan terutama tanpa tambahan  input sintetis (McCoy, 2001). Dengan demikian pengelolaan hama terpadu sangat berperanan dalam menghasilkan produk organik . Sebagai output adalah produk pertanian  dan lingkungan hidup yang sehat yang pada prinsipnya mengacu pada sistem alami dengan meminimalisasi masukan senyawa-senyawa  anorganik (pupuk, pestisida). Namun timbul pertanyaan selanjutnya “  Sampai seberapa jauh petani dan masyarakat Indonesia mengembangkan organic farming  dan apakah mereka sudah menerima  produk-produk organik tersebut?”

Sebagai gambaran  marilah kita perhatikan perkembangan organik produk secara global dengan peluang agribisnisnya. Pada saat ini satu dari empat orang Amerika mengkonsumsi produk organik, dan terus tumbuh dengan laju pertumbuhan produk organik sebesar 20% setiap tahun dalam sepuluh tahun terakhir serta mampu mengisi sektor ekonomi di negara tersebut (Wood et al, 2002). Dalam era globalisasi , pasar sayuran organik sangat terbuka dan saat ini Australia telah mengekspor sayuran organik ke pasar Amerika dan beberapa negara Eropa seperti Inggris, Jerman dan Prancis serta beberapa negara Asia seperti Jepang, Singapore dan Malaysia (McCoy, 2001). Keadaan ini juga dimanfaatkan oleh negara Asia seperti Thailand yang sejak tahun 1995 telah mengeluarkan standarisasi dan sertifikasi produk organik (ACT, 2001).

Pertanian organik bukan saja sebagai sistem yang ramah lingkungan, tapi terbukti mudah dilakukan dengan biaya lebih murah dan hasil masih bisa dipertahankan seperti pada sistem  pertanian konvensional. Contoh yang paling nyata adalah pada budidaya beberapa sayuran seperti kubis (Brassica oleraceae.var. italica Plenck) , Bunga kol (Brassica oleraceae.var. brotritys), Andewi (Chicorium endive), Lettuce (Lactuca sativa), kentang (Solanum tuberosum L.) dan wortel  (Daucus carota) di  kebun percobaan Cangar,, Malang  (Suryanto et al, 2003). Produksi  sayuran organik tersebut masih terbatas tergantung dari outlet yang telah terbentu seperti Swalayan serta beberapa hotel dan katering di kota Malang. Dalam sosialisasi sayuran organik dilakukan kerjasama dengan Mitra Bumi Indonesia, LSM yang bergerak dalam advokasi pertanian organik. Ditambah pula di Indonesia sudah terbentuk kelompok Masyarakat Pertanian Organik Indonesia (MAPORINA) yang semestinya diharapkan akan menjadi badan yang bertanggung jawab terhadap sertifikasi. Namun sampai saat ini sistem budidaya organik masih belum banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia  khususnya di Nusa Tenggara Barat, padahal konsep ini telah lama dikenal dan diterapkan di negara maju dengan menerapkan sistem organik dengan menetapkan persyaratan sertifikasi tertentu (IFOAM, dll).

Di Indonesia yang beriklim trofis, aneka sayuran dapat dibudidayakan sepanjang tahun dengan keragaman yang tinggi berupa sayuran daun, tunas, buah, umbi dan polong. Survey BPS (2000) menunjukkan produksi sayuran di Indonesia , diantaranya bawang merah, kubis, sawi, wortel dan kentang, berturut-turut 772.818, 1.336.410, 484.615, 326.693 dan 977.349 ton pada total areal seluas 291.192 Ha. Dengan potensi tersebut dan dengan semakin majunya masyarakat , maka sudah saatnya komoditas sayuran dikembangkan pula menjadi produk organik. Budidaya sayuran organik relatif mudah dan murah untuk dilakukan dan terbukti lebih hemat, aman dan sehat untuk dikonsumsi.

 

Nusa Tenggara Barat khususnya Pulau Lombok yang merupakan daerah dengan  potensi sumberdaya alamnya yang melimpah baik untuk kegiatan pariwisata maupun pertanian sebagai pendukungnya sangat berpeluang untuk dikembangkan. Dengan maraknya pembangunan di bidang parawisata membuat Nusa Tenggara Barat terutama Pulau Lombok  menjadi tujuan kunjungan wisata , baik domestik maupun wisman yang semuanya akan menuntut perhatian khusus berkaitan dengan tuntutan konsumen, termasuk di bidang produksi pertanian. Sayuran dan buah-buahan sebagai produk pertanian tentu akan mengikuti perkembangan di bidang pariwiata tersebut misalnya untuk memenuhi kebutuhan hotel-hotel dan restoran yang menuntut persyaratan khusus terutama dari aspek kesehatan dan kebersihan produk dari bahan-bahan kimia sintetis. Hal ini merupakan tantangan dan sekaligus peluang tersendiri bagi petani untuk mengembangkan usaha tani sayuran dan buah-buahan dengan sistem budidaya organik.

Penutup


 Hadirin yang saya hormati

Sebagai penutup saya kemukakan  beberapa simpulan dari uraian di atas  bahwa  sebagai daerah tropika secara geografis , Indonesia menyimpan kekayaan alam yang melimpah dengan keanekaragaman hayati  dengan penduduk yang secara demografis sebagaian terbesar  hidup di sektor pertanian, secara rasional  sangat berpotensi sebagai suatu negara besar dan kuat di bidang pertanian. Tidaklah berlebihan atau Koes plus tidak sedang bermimpi saat melantunkan syair lagu “…. bukan lautan hanya kolam susu,  tongkat dilempar jadi tanaman …..” Namun sampai saat ini pada kenyataannya, sektor pertanian belumlah menunjukkan kebanggaan bagi bangsa Indonesia yang masih disibukkan dengan persoalan-persoalan lainya yang justru mempengaruhi pembangunan di bidang pertanian ke arah yang tidak menjanjikan. Ditambah pula dengan dampak yang ditimbulkan dari pengelolaan pertanian selama ini yang selalu mengejar produktivitas dan pemenuhan kebutuhan pangan tanpa memperhatikan kaedah-kaedah  keberlanjutan, yang justru memunculkan kekhawatiran, bahwa petani semakin tidak yakin dan percaya diri terhadap keunggulan profesinya, karena bidang pertanian dianggap tidak dapat memberikan masa depan yang lebih baik.

Melalui kesempatan yang berbahagia ini saya menggugah hadirin agar memanfatkan potensi yang kita miliki untuk memajukan sektor pertanian  terutama berdasarkan kaedah sistem pembangunan pertanian berkelanjutan. Dalam konteks Pengelolaan Hama Terpadu keanekaragaman hayati  yang kita miliki  dapat dimanfaatkan sebagai sumber pestisida nabati maupun hayati, demikian juga dengan kekayaan spesies serangga baik sebagai  parasitoid maupun  predator dapat dioptimalkan fungsinya sebagai pengendali alami  untuk mendukung pembangunan sistem pertanian berkelanjutan. Kita seharusnya bisa hidup berdampingan dengan serangga,  kelompok binatang yang merupakan bagian dari komunitas ekosistem bumi yang telah menjadi penentu keberadaan dan perkembangan ekosistem di muka bumi, karena interaksi antara serangga dan manusia telah berlangsung sejak manusia ada. Keberadaan dan kemampuan hidup manusia sampai saat ini sangat dibantu dan didukung oleh keberadaan serangga. Sampai-sampai Allah SWT mengabadikan sebuah surat dalam  Al Qur’an  tentang serangga yang diwakili oleh LEBAH ( An Nahl = lebah)).

Dan Tuhanmu  mengilhamkan kepada lebah: “ Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon kayu, dan di temapt-tempat yang dibikin manusia” kemudaian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (Kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkannya.
(AnNahl 68-69)

Kaitannya dengan keanekaragaman sumberdaya alam yang kita miliki, peluang lainnya yang sangat penting diperhatikan adalah melimpahnya bahan organik di Indonesia yang sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai  modal berharga dalam praktik pertanian organik yang juga sekaligus  mendukung pembangunan sistem pertanian berkelanjutan.
Dari berbagai potensi dan peluang yang kita miliki, masih banyak kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan sistem pertanian berkelanjutan di Indonesia. Namun sudah saatnya sekarang mendapat prioritas utama daripada sekedar memenuhi target peningkatan produktivitas dan kebutuhan pangan. Paradigma baru perlu segera diwujudkan  untuk mempercepat keberhasilan pembangunan pertanian di Indonesia, bahwa penetapan teknologi spesifik lokasi yang berkelanjutan harus lebih dipentingkan dari pada pertimbangan lain dan sejauh mungkin menghindari pemaksanaan lahan untuk suatu komoditi dan teknologi tertentu. Untuk itu diperlukan kerjasama dari berbagai pihak, baik pemerinah, peneliti, pengusaha, organisasi kemasyarakatan, perguruan tingi dan masyarakat petani sendiri.

Pembangunan pertanian berkelanjutan hendaknya tidak hanya menjadi slogan dan isu politik, namun perlu dijabarkan melalui program dan kegiatan nyata di lapangan.
Di era globalisasi saat ini , kita harus akrab dengan kaedah-kaedah keseimbangan alam, namun tidak menutup diri dengan inovasi-inovasi dan teknologi seperti bioteknologi pertanian  yang dapat membantu pencapaian tujuan secara cepat, tepat dan berkelanjutan.

Bapak Gubernur, bapak Rektor dan Hadirin yang berbahagia

Dari uraian panjang di atas dapat disarikan dengan rangkaian kata  kunci bahwa  pembangunan pertanian harus mengikuti trend globalisasi dimana bioteknologi dapat dimanfaatkan dalam penerapan PHT yang merupakan komponen pendukung sistem pertanian berkelanjutan.

Demikianlah orasi ilmiah yang dapat kami sampaikan di hadapan hadirin yang mulia, semoga bermanfaat bagi kita semua. Mohon maaf atas segala kekurangan  dan terima kasih atas perhatian dan kesabarannya.
Wabillahittaufiq wa;hidayah Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

 

 

 


Daftar Pustaka

ACT (Agriculture Certification Thailand ), 2001. Organic Agriculture Standards. Organic Agriculture Certification Thailand. 27 p.
Agriculture, Food and Rural Revitalization, 2000. Organic farming(Internet access). Government of Saskatchewan, 30085 Albert Street, Saskachewan, Saskachewan Agriculture and Food.
BPS, 2000. harvest Area, Production and Yield of Vegetables in Indonesia. www.bps.go.id.
Dent, D., 1992. Insect Pest Management.C.A.B. International, Wallingford, UK. 604 p.
Glatz,  R;  Roberts,  H. L.S., Li; Sarjan, M; Theopold, U. H.; Asgari, S and  Schmidt, O: Lectin-induced hemocyte inactivation in insects.Journal of Insect Physiology ( in press)
Hallett, R.H., Zilahi-Balogh, R., Engerilli, N.P.D and Borden, J.H. (1993). Development of a Pest management System for Diamonback Moth, Plutella xylostella .L (lepidoptera: Yponomeutidae) in a Third –World Country-Considerations for Sustainability. In Pest Control and Sustainable Agriculture. CSIRO. Entomology. Canberra.Australia
Harwood, R.R., 1990. A History of Sustainable Agriculture in Sustainable Agricultural Systems. Eddited by Edwards, C.A, Rattan, L, Patrick, M, Robert, H.M and Gar House.
Luna, J.M and Garfield, J.H., 1990. Pest Management in Sustainable Agricutural System in Sustainable Agricultural Systems. Eddited by Edwards, C.A, Rattan, L, Patrick, M, Robert, H.M and Gar House.
Ma, G, Roberts, H.L.S; Sarjan, M; Featherstone, N;  Lahnstein, J; Akhurst, R and Schmidt, .  Is the mature endotoxin Cry1Ac from Bacillus thuringiensis inactivated by a coagulation reaction in the gut lumen of tolerant Helicoverpa armigera larvae?. Journal of Biological Chemistry ( in press)
McCoy, Steven, 2001. Organic vegetables. A Guide to Production. Departement of Agriculture, Western  Australia. 27 p.
NOVA Vermont, 2001. VOF Standards-Soil management . http://www.nofavt.org/sht02.stdsl.cfm
Rachman, M; Sassan, A; Sarjan, M and Schmidt, O.,2004. Induction and Transmission of Bacillus thuringiensis tolerance in the flour moth Ephestia kuehniella ( Jurnal PNAS, Vol 101 No.9, 2004)
Rajakurendran, V., 1993. Use of Bt on Vegetable Crops In Australia
Second Bacillus thuringiensis. Meeting Canbera ( Abs) . 21 –23
September 1993.
Rasahan, C.A., 1996. Kebijakan Pembangunan Pertanian di Indonesia menjelang pasar bebas. Makalah workshop” Tindak lanjut pengembangan PHT di Bandung, 3-7 Nov. 1996 17 h.
Rochim dan Rizky, 2002. Sayuran organic Penuhi Keinginan Konsumen, Majalah Hortikultura. Jakarta. H. 24-25.
Sarjan, M., 1995. The Use of Bacillus thuringiensis  to control Spodeptera exigua Hbn on onion. Laporan Penelitian, Fakultas Pertanian Universitas Mataram. 17h
Sarjan, M., 2002. Resistance against endotoxin from Bacillus thuringiensis in lepidopteran insects (Ph.D thesis, 2002)

Sarjan, M., 2003a. Immune Reactions in  the Bacillus thuringiensis Resistant Insect (Agroteksos, Vol. 13. No. 3. October  2003)
Sarjan, M.,2003b. Glycosilation status of Glycoproteins and Location of the Immune-realated Proteins in the Gut of caterpillar( Jurnal Lemlit Universitas Mataram, Oktober 2003
Sarjan, M., 2004. The potency of  non-chemical syntetic insecticides  in conserving predator of army worm (Spodoptera litura F.)  on soybean crop (Agroteksos, Vol. 13. No. 4. January  2004)
Sarjan, M.,?  . Are soluble hemolymph components involved in hemocytes functions? ( in prep
Sarjan, M., ?. Are immune-induction reactions involved in Bt-resistance mechanisms? (in prep)
Sudarwohadi, S dan Oka, I.N., 1997. Implementasi Pengelolaan Serangga Secara berkelanjutan.Makalah disampaikan pada simposium Entomologi Indonesia, bandung, 24-26 Juni 1997
Suryanto, A, T.Himawan dan Sitawati, 2003. Budidaya sayuran organic melalui pendekatan ekologi di kebun percobaan Cangar. Pada Pelatihan Dosen-dosen PN-PTS se- Indonesia. Petanian Berkenaljutan Untuk meningkatkan Kesejahteraanh Masyarakat. Malang 12-21 Juli 2003.
TAC (Technical Advisory Committee), 1988. Sutainable Agricultural Production: Implication for International Agricultural Research Consult. Group Int. Agric.Res. Washinton.DC.
Untung, K., 1993. Konsep Pengendalian Hama terpadu. Andi ofset. Yogyakarta. 150 h
Untung, K., 1996. PHT menyongsong era perdagangan bebas. Makalah workshop” Tindak lanjut pengembangan PHT di Bandung, 3-7 Nov. 1996. 8 h
Untung, K dan Sudomo M., 1997. Pengelolaan secara berkelanjutan. Makalah disampaikan pada simposium Entomologi Indonesia, bandung, 24-26 Juni 1997.
Wiresyamsi, A and Sarjan, M., 1996. The potency of  Bacillus thuringiensis  as a biological control agent of major pest of vegetables. Jurnal Penelitian –Lembaga Penelitian .Universitas Mataram

Wood, Maria, L. Chavez and Don Comis, 2002. Organic grows on America. Agricultural Research U.S. Departementb of Agriculture. 19 p.










CURRICULUM VITAE


A.  Personal Identity :                                                      
1.
Name                  
: Ir.H.M.Sarjan, M.Ag.CP., Ph.D
2.
Sex
: Male
3.
Place /Date of Birth
: Kelayu, East Lombok/  06 April  1962
4.
Official address
: Facukty of Agriculture-University of Mataram
  Jl. Majapahit 62. Mataram-Lombok
  Telp. (0370) 621435 Fax: (0370)640186
5.
Home Address
: Jl. Danau Laut Tawar 17 Pagutan Permai Mataram,Lombok-NTB,
    Phone:62-370-627237 HP. 08123706297
    e-mail : janung4@yahoo.com.au

  1. Education :
University/Institute
And Location

Degree

Year

Field of Study

Faculty of Agriculture-University of Mataram -  Indonesia
Ir
1986
Agronomy
Faculty of Agricultural and Natural Resource Sciences, University of Adelaide-Australia
M.Ag.CP
1994
Entomology
Faculty of Agricultural and Natural Resource Sciences, Department of Applied Molecular and Ecology, University of Adelaide-Australia
Ph.D
2002
Biological Control of Insect Pest/Biotechnology

C.  Work  experiences :
Institustion
Job/position
Year
Faculty of Agriculture-University of Mataram
Lecturer
1987-Present
Faculty of Agriculture-University of Mataram
Head of Reseach development comitee (BP3F)
2003-2006
Research Institute – University of Mataram
PEER GROUP member
2003-2005
University of Mataram
Secretary of  Task Force Project TPSDP Batch II
2003
University of Adelaide
Research Fellow
March – july 1994
FAO-Roma-Italia
Conultant for Nasional Project of Integrated Pest Management for estate Crop
March – April 1995
Directorate General of Higher Education –Department of National Education
Participant on the International Acade-mic networking  in Univ. of Victoria, Univ. of  Queen , Univ. of Guelph, Univ. of Waterloo (Canada) and Univ. of Florida (USA)
October-December 1996
Institute for Sustainable Development Resources
 Director
April 2003- 2008

D.  Research  experiences  :

    1. Evaluation of Integrated Pest management practices on rice in West Lombok District (1989)
    2. Distribution of  Spodoptera exigua Hubner population on onion crop (Allium ascalonicum L) (1989)
    3. The effects of continuous application of several fungicides with rotation system , to response of in Vitro  Alternaria porri (Ell) Cif. On garlic crop ( 1990)
    4. Efficacy of  Bacillus thuringiensis Berliner to army worm (Spodoptera exigua Hbn) on onion crop baed on economic threshold (1991)
    5. response of in Vitro  Alternaria porri (Ell) Cif.to several mixed fungicides and with rotation  On garlic crop (1991)
    6. Susceptibility of Sheep myasis flies , other than Lucilia cuprina to Bacillus thuringiensis. (Master Thesis, 1993)
    7. Efficacy of mixed Metarhizium anisopliae (Metach) SOR and  buprofezin insecticide to mortality of Brown Plant Hopper(Nilavarpata lugens Stal) (1994)
    8. Study of Biology of  Pareuchaetes psudoinsulata on several important weed on peanut crop (1995)
    9. Bacillus thuringiensis  as a biological control agent for major pest of cabbage (1996)
    10. Study of Economic threshold of  leaf roller insect (Nezara viridula L and  Risptortus linearis F) several varieties of soybean in Lombok Island (1996)
    11. Testing of fitotoxicity of   Fenoksaprop-P-Etil herbicide on direct seedling system of rice  (Tabela) (1997)
    12. The potency of non-chemical syntetic insecticides  to control cabbage pest, Plutella xylostella (1997)
    13. Resistance against endotoxin from Bacillus thuringiensis in lepidopteran insects (Ph.D thesis, 2002)

E.   Scientific Publicatin  :

  1. The use of Bacilluis thuringiensis to control  Spodoptera exigua Hbn (Lepidoptera:Noctidae) on onion. (1995)
  2. The potency of  Bacillus thuringiensis  as a biological contro agent of major pest of vegetables
  3. The potency of  non-chemical syntetic insecticides  in conserving predator of army worm (Spodoptera litura F.)  on soybean crop (Agroteksos, Vol. 13. No. 4. January  2004)
  4. Are soluble hemolymph components involved in hemocytes functions? ( in prep)
  5. Are immune-induction reactions involved in Bt-resistance mechanisms? (in prep)
  6. Immune Reactions  in the Bacillus thuringiensis Resistant Insect (Agroteksos, Vol. 13. No. 3. Oktober  2003)
  7. Glycosilation status of Glycoproteins and Location of the Immune-realated Proteins in the Gut of caterpillar( Jurnal Lemlit Universitas Mataram, Oktober 2003
  8. Induction and Transmission of Bacillus thuringiensis tolerance in the flour moth Ephestia kuehniella ( Jurnal PNAS, Vol 101 No.9, 2004)


F.  Teaching Experiences :

Teaching for undergraduate students on
  1. Science  of Insect Pest
  2. Introduction of Crop Protection
  3. Biological Control and environmental Magament
  4. Clinic of Insect pest and disease
  5. Insect Pathology
  6. Research Methodology on Crop Pest and Disease








G.  Congress, Seminar and training


1.  In country :
  1. Research Methodology , University of  Mataram (1989)
  2. Interinship course on Insect Pahology in Biothecnology Inter-University centre University of  Gadjah Mada (Yogyakarta) ( 1989/1990)
  3. Scientific meeting in in Biothecnology Inter-University centre University of  Gadjah Mada (Yogyakarta) (1990)
  4. Training Course on Agricultural Research Methodology di Bogor Agricultural University Life Sciences Inter University Center (1996)
  5. National Congress of Indonesian  Entomology  Association  in University of Padjadjaran,  Bandung ( 1997)
  6. National Congress of Indonesian Phitophatology Association  in Mataram (1996)
  7. Practical Workshop in Molecular Markers in Plant Breeding- Adelaide-Australia, 3-7 Juli 2000
  8. Seminar on Research Direction of University of Mataram -Mataram, 9 Juni 2003
  9. Instructor on Biotechnology training  -LPIU-Post  IAEUP University of  Mataram in Sahid Legi Hotel -Mataram , 14-15 July 2003
  10. Training on Proposal writing on Semi QUE-V Agronomprogram study -Mataram, 30-31 June 2003
  11. Speaker on  41 th Dies  Natalis of University of Mataram Seminar  Mataram, 1 October 2003 with topic :“ Agricultural Biothecnology and its opportunity practices in West Nusa Tenggara 
  12. Nasional seminar on dryland rehabilitation by community empowerment in University of Muhammadiyah-Mataram, 18 December 2003.


2.  Overseas :
  1.  Consultant on National Project of Pest Management for Estate Crop in  Rome Italy (1995)
  2. Participant in Specialized training for distance Education and Relationships between the business and University Communities di University of Florida, USA (1996)
  3. Partiicipant in Research Management and Development Program di University of Guelph, Canada (1996)
  4. Participant in the Indonesian Teaching Institute Faculty of Education di University of Victoria, Victoria, British Columbia ,Canada (1996)
  5. Participant in Introduction to Internet and the Information Highway di Training and development, Quality Excellent and Service , Ottawa (Canada) (1996)
  6. Visiting  to Queens University , Kingstoon, Canada (1996)
  7. Speaker on seminar of Indonesia- Australia Student Association,South Australia 28 Oktober 2000, di Adelaide  with topic  “ Integrated Pest management (IPM): Application and its Prospect in Indonesia.