Jumat, 31 Desember 2010

fistan

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN


FUNGSI AIR

• Penyusun tubuh tanaman (70%-90%)
• Pelarut dan medium reaksi biokimia
• Medium transpor senyawa
• Memberikan turgor bagi sel (penting untuk pembelahan sel dan pembesaran sel)
• Bahan baku fotosintesis
• Menjaga suhu tanaman supaya konstan


Bentuk Air Tersedia

• Air kapiler, terletak antara titik layu tetap (batas bawah) dan kapasitas lapangan (batas atas)
• Air tidak tersedia, air higroskopis (kurang dari titik layu tetap) dan air gravitasi (di atas kapasitas lapangan)

Air pada Kap. Lapangan Menguntungkan

• Adanya imbangan antara pori makro dg mikro
• Sebagian besar nutrisi dalam bentuk terlarut
• Permukaan akar memiliki luasan terbesar untuk menjalankan proses difusi ion dan aliran masa ion




Air Membatasi Pertumbuhan

• Jumlahnya terlalu banyak (menimbulkan genangan) sering menimbulkan cekaman aerasi
• Jumlahnya terlalu sedikit, sering menimbulkan cekaman kekeringan
• Diperlukan upaya pengaturan lengas tanah supaya optimum, melalui pembuatan saluran drainase (mencegah terjadinya genangan) maupun saluran irigasi (mencegah cekaman kekeringan)
• Air hujan dan irigasi masuk ke tanah lewat infiltrasi, mengisi pori mikro tanah, tertahan sebagai lengas
• Air tanah memiliki energi kinetik dan potensial
• Energi kinetik sangat rendah, bergerak sangat lambat
• Energi potensial tinggi, penjumlahan dari potensial gravitasi, potensial matrik, potensial tekanan, dan potensial solut
• Status air tanah digambarkan oleh kandungan lengas
• Status air tanah tergantung pada tekstur dan struktur tanah
• Tanah lempung menyimpan air lebih banyak daripada tanah pasir, kekeringan di tanah lempung terjadi lebih lambat



Kapasitas Lapangan

• Seluruh pori mikro terisi air
• Batas atas air tersedia bagi tanaman
• Diukur berdasarkan kandungan lengas setelah tanah jenuh dibiarkan bebas terdrainasi selama 2 – 3 hari
• Cara lain: ditentukan pada tanah jenuh yang mengalami tekanan pada 0.01 Mpa (pasiran) – 0.033 Mpa (lempungan)



Titik Layu Tetap

• Air yang ada berupa air higroskopis
• Batas bawah air tersedia
• Ditentukan dengan mengukur kandungan lengas pada saat tanaman indikator layu, dan tidak dapat segar kembali setelah dibiarkan semalam di udara basah
• Cara lain: dengan mengukur kandungan lengas dari tanah jenuh setelah diberi tekanan 1.5 Mpa di alat piring tekan
• Titik layu tetap bukan merupakan tetapan tanah, lebih merupakan tetapan tanaman
• Titik layu tetap lebih tergantung pada tekanan turgor sel-sel tanaman. Tekanan turgor dipengaruhi oleh komponen osmotik daun, cuaca yang mempengaruhi transpirasi dan komponen yang mempengaruhi ketersediaan air tanah
• Tidak ada batas bawah ketersediaan air yang tegas untuk berbagai tanaman



Genangan

• Kandungan lengas tanah di atas kapasitas lapangan
• Menimbulkan dampak yang buruk terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman
• Dampak genangan: menurunkan pertukaran gas antara tanah dan udara yang mengakibatkan menurunnya ketersediaan O2 bagi akar, menghambat pasokan O2 bagi akar dan mikroorganisme (mendorong udara keluar dari pori tanah maupun menghambat laju difusi)
• Pada kondisi genangan, < 10% volume pori yang berisi udara
• Sebagian besar tanaman pertumbuhan akarnya terhambat bila < 10% volume pori yang berisi udara dan laju difusi O2 kurang dari 0.2 ug/cm2/menit
• Keadaan lingkungan kekurangan O2 disebut hipoksia, dan keadaan lingkungan tanpa O2 disebut anoksia (mengalami cekaman aerasi)
• Kondisi anoksia tercapai pada jangka waktu 6 – 8 jam setelah genangan, karena O2 terdesak oleh air dan sisa O2 dimanfaatkan oleh mikroorganisme
• Pada kondisi tergenang, kandungan O2 yang tersisa di tanah lebih cepat habis bila ada tanaman
• Laju difusi O2 di tanah basah 20000 kali lebih lambat dibandingkan di udara
• Laju penurunan O2 dipengaruhi oleh tekstur tanah
• Pada tanah pasiran, kehabisan O2 terjadi pada 3 hari setelah tergenang sedangkan pada tanah lempungan terjadi < 1 hari, porositas lempungan lebih rendah daripada pasiran
• Penurunan O2 dipercepat oleh keberadaan tanaman di lahan, akar tanaman menyerap untuk respirasi
• Akar tanaman legum berbintil memerlukan O2 enam kali lebih banyak dibandingkan yang dibuang bintilnya (30 : 4.3 ul O2/g/menit)
• Genangan selain menimbulkan penurunan difusi O2 masuk ke pori juga akan menghambat difusi gas lainnya, misal keluarnya CO2 dari pori tanah. CO2 terakumulasi di pori, pada tanah yang baru saja tergenang 50% gas terlarut adalah CO2, sebagian tanaman tidak mampu menahan keadaan tersebut
• dampak kelebihan konsentrasi CO2 mempunyai pengaruh lebih kecil dibandingkan defisiensi O2
• Genangan mempengaruhi sifat fisik, kimia, dan biologi tanah
• Struktur tanah rusak, daya rekat agregat lemah, penurunan potensial redoks, peningkatan pH tanah masam, penurunan pH tanah basa, perubahan daya hantar dan kekuatan ion, perubahan keseimbangan hara
• Tanaman yang tergenang menunjukkan gejala klorosis khas kahat N
• Kekahatan N terjadi karena penurunan ketersediaan N maupun penurunan penyerapannya
• Pada kondisi tergenang ketersediaan N dalam bentuk nitrat sangat rendah karena proses denitrifikasi, nitrat diubah menjadi N2, NO, N2O, atau NO2 yang menguap ke udara
• Pada proses denitrifikasi, nitrat digunakan oleh bakteri aerob sebagai penerima elektron dalam proses respirasi
• Genangan berdampak negatif terhadap ketersediaan N, tetapi ada pula keuntungan dari timbulnya genangan yaitu peningkatan ketersediaan P, K, Ca, Si, Fe, S, Mo, Ni, Zn, Pb, Co
• Genangan berpengaruh terhadap proses fisiologis dan biokimiawi antara lain respirasi, permeabilitas akar, penyerapan air dan hara, penyematan N
• Genangan menyebabkan kematian akar di kedalaman tertentu dan hal ini akan memacu pembentukan akar adventif pada bagian di dekat permukaan tanah pada tanaman yang tahan genangan
• Kematian akar menjadi penyebab kekahatan N dan cekaman kekeringan fisiologis
• Pada tanaman legum, genangan tidak hanya menghambat pertumbuhan akar maupun tajuk juga menghambat perkembangan dan fungsi bintil akar
• Fungsi bintil akar terganggu karena terhambatnya aktifitas enzim nitrogenase dan pigmen leghaemoglobin, kemampuan fiksasi N2 akan menurun
• Tanaman kedelai termasuk tanaman yang tahan genangan, mampu membentuk akar adventif dan bintil akar pada akar tersebut, efek genangan akan hilang begitu akar adventif terbentuk
• Pengaruh genangan pada tajuk tanaman: penurunan pertumbuhan, klorosis, pemacuan penuaan, epinasti, pengguguran daun, pembentukan lentisel, penurunan akumulasi bahan kering, pembentukan aerenkim di batang.
• Besarnya kerusakan tanaman sebagai dampak genangan tergantung pada fase pertumbuhan tanaman. Fase yang peka genangan: fase perkecambahan, fase pembungaan, dan pengisian
• Genangan pada fase perkecambahan menurunkan jumlah biji yang berkecambah (perkecambahan sangat memerlukan O2)
• Genangan yang terjadi pada fase pembungaan dan pengisian menyebabkan banyak bunga dan buah muda gugur

KEKERINGAN

• Kekeringan menimbulkan cekaman bagi tanaman yang tidak tahan kering
• Kekeringan terjadi jika lengas tanah lebih rendah dari titik layu tetap
• Kondisi di atas timbul karena tidak adanya tambahan lengas baik dari air hujan maupun irigasi sementara evapotranspirasi tetap berlangsung
• Pertumbuhan dan hasil tanaman tidak hanya dipengaruhi oleh cekaman kekeringan, merupakan hasil integrasi dari semua pengaruh cekaman pada proses fotosintesis, respirasi, metabolisme pertumbuhan, dan reproduksi
• Proses fisiologis untuk mengetahui dampak kekeringan yang dapat diukur: tekanan turgor, bukaan stomata, laju metabolisme, kerusakan enzim, dan kerapatan akar
• Faktor yang mempengaruhi penurunan pertumbuhan secara langsung bukan potensial air, tetapi potensial osmotik atau tekanan turgor.
• Tekanan turgor sel tanaman akan mempengaruhi aktivitas fisiologis antara lain pengembangan daun, bukaan stomata, fotosintesis, dan pertumbuhan akar
• Pada tanaman yang tahan cekaman kekeringan, tekanan turgor daun tetap dipertahankan meskipun kandungan lengas tanah maupun air jaringan menurun. Hal ini terjadi melalui penurunan potensial osmotik daun yang disebut penyesuaian osmotik
• Penyesuaian osmotik dapat dilakukan melalui akumulasi atau sintesis zat terlarut yang menurunkan potensial solut dan mempertahankan turgor sel
• Zat yang sering dihasilkan tanaman untuk penyesuaian osmotik pada tanaman yang tahan cekaman kekeringan adalah senyawa prolin yang terakumulasi di jaringan daun
• Kandungan prolin pada daun yang mengalami cekaman kekeringan 10 – 100 kali lipat dibandingkan tanaman yang kecukupan air
• Pada tanaman yang mengalami cekaman, prolin merupakan komponen asam amino terbesar dalam jaringan (30% dari total nitrogen terlarut)
• Peranan prolin: sebagai penampung nitrogen dari berbagai senyawa nitrogen yang berasal dari kerusakan protein, sebagai senyawa pelindung untuk mengurangi pengaruh kerusakan cekaman air di sel. Begitu tanaman terlepas dari cekaman air, senyawa prolin akan segera terdegradasi menjadi glutamat
• Cekaman air mampu menurunkan LAB sampai 50%, terutama terjadi karena penurunan laju fotosintesis

tugas ilmu gulma

 Sejarah Awal Perkembangan Ilmu Gulma
Gulma menjadi masalah sejak manusia mengusahakan pertanian. Gulma menyebabkan gangguan dan kerugian pada tanaman budidaya seperti halnya hama dan penyakit, namun gangguan akibat gulma timbulnya sedikit demi sedikit, tidak drastis atau spektakuler. Menurut Singh et al. (2005) upaya pengendalian gulma pada sistem produksi tanaman telah dilakukan oleh manusia seumur perkembangan pertanian itu sendiri. Gulma mendapat perhatian lebih besar di bidang fisiologi tumbuhan, sejak ditemukannya 2,4-D (asam 2,4- diklorofenoksiasetat) pada tahun 1940-an sebagai herbisida. Sebelum herbisida sintetis ditemukan pada tahun 1940-an, tidak ada pembagian disiplin ilmu gulma. Manajemen gulma dijadikan sebagai subdisiplin agronomi, dan sangat sedikit ilmuwan yang melakukan penelitian pada gulma dan pengendaliannya. Penemuan 2,4-D sebagai zat pengatur tumbuh (Zimmerman and Hitchock, 1942) dan catatan penggunaannya sebagai herbisida selektif (Hamner dan Tukey, 1944; Marth and Mitchell, 1944) telah mengawali proses penemuan dan komersialisasi herbisida sintetik baru yang memberikan dorongan terhadap ilmu gulma untuk menjadi disiplin tersendiri.
 Sejarah Penemuan 2,4-D
Pada akhir abad 19, ketika garam NaCl dan abu digunakan untuk mengendalikan gulma sepanjang pinggir jalan, herbisida selektif inorganik telah ditemukan dengan kebetulan di Perancis. Beberapa petani Perancis menyemprotkan bubur Bourdeaux untuk mengendalikan penyakit embun tepung (downy mildew) pada pertanaman anggur dan mereka mengamati bahwa beberapa drift yang jatuh dari larutan tersebut dapat membunuh gulma berdaun lebar yang ada di bawahnya. Akhirnya, komponen tembaga sulfat dalam bubur Bordeaux ditemukan sebagai agen pembunuh gulma. Terobosan nyata dalam pengendalian gulma dengan senyawa kimia selektif dihasilkan pada tahun 1945 dengan pengumuman secara simultan penemuan 2,4- D di Amerika dan MCPA di Inggris. Pada tahun 1935 di Amerika, Zimmerman dan Wilcoxson melaporkan bahwa phenilacetic acid dan naphthyl acetic acid (NAA) mencegah buah muda gugur, menginduksi perakaran, mempercepat pemasakan buah, dan menyebabkan tomat tanpa biji. Pada tahun 1941 di Inggris, ketika pelaksanaan penelitian pot pada pengaruh NAA sebagai zat pengatur tumbuh tanaman pada gandum, W.G. Templeman mendapatkan peluang bahwa NAA membunuh sedikit tanaman kubis liar (Brassica kaber) yang tumbuh sebagai gulma di pot gandum. Hal ini mendorong Templeman dan W.A Sexton pada Stasiun Penelitian Jealotts Hill untuk mencari beberapa zat pengatur tumbuh yang lebih potensial daripada NAA untuk pengendalian gulma berdaun lebar pada biji kecil. Hasil elaborasi penelitian akhirnya menghasilkan bahwa 2,4-D dan MCPA merupakan zat pengatur tumbuh yang potensial sebagai herbisida (Gupta, 2000). Pada tahun 1941 di Amerika Serikat, Pokorny untuk pertama kalinya mensintesis 2,4-dichloroacetic acid (2,4-D) dan 2,4,5-trichloroacetic acid (2,4,5-T).
 2,4-D sebagai Senjata Perang Biologi
Pengembangan herbisida organik telah difasilitasi secara besar selama.Perang Dunia II karena potensi militernya sebagai senjata biologi (Peterson, 1967). Setelah perang, program Camp Detrick diperluas sampai meliputi berbagai tipe respon pertumbuhan di dalam tanaman. Sintesis dan pemilihan (screening) dilanjutkan dan pengembangan prosedur untuk menguji aktivitas herbisida ditingkatkan. Penelitian Camp Detrick didukung oleh kontrak dengan universitas dan penelitian diinisiasi pada absisik dan giberelin. Pengguguran daun dan uji pelayuan daun untuk tanaman berkayu dilakukan selama periode 1961 -1972 dibawah pengawasan C.E. Minarik yang mendorong penggunaan secara militer
 Pengembangan 2,4-D secara Komersial sebagai Herbisida
Ilmuwan di Amerika Serikat (Marth dan Mitchel, 1944; Zimmerman dan Hitchcock, 1942) dan ilmuwan Inggris (Blackman, 1945; Slade et al, 1945) melanjutkan pekerjaan penelitian terbatas dengan 2,4-D selama Perang Dunia II. Penelitian di Inggris difokuskan pada pengembangan MCPA, yaitu herbisida mirip 2,4-D. MCPA disenangi di Inggris karena ketersediaan kresol yang melimpah yang diekstrak dari batubara dan digunakan untuk membuat MCPA versus ketersediaan phenol yang melimpah dari kilang minyak di Amerika, yang digunakan untuk membuat 2,4-D.
Pada bulan Juni 1994, Mitchell dan Hamner dengan United States Department of Agriculture (USDA) Biro Industri Tanaman di Beltsville, Maryland telah membuat pengumuman publikasi yang pertama tentang penggunaan 2,4-D sebagai herbisida yang menghambat pertumbuhan gulma (Marth dan Mitchell, 1944). Hamner dan Tukey (1944) menyebabkan pertimbangan publik tertarik ketika mereka melaporkan pada tahun 1944 bahwa dalam 10 hari setelah semprot dengan 2,4-D gulma mati. Peneliti Inggris sudah bekerja dengan MCPA, 2,4-D, dan zat pengatur tumbuh lain selama awal tahun 1940 tetapi menunda publikasi hasil penelitiannya sampai setelah Perang Dunia II (Blackman, 1945; Slade et al.,1945).


Marth dan Mitchel (1944) menyemprotkan 2,4-D pada lapangan rumput yang ditumbuhi gulma dandelion pada Beltsville, Maryland dan mendapatkan pengendalian gulma daun lebar secara selektive dengan tanpa kerusakan terhadap lapangan rumputnya. Mitchell et al. (1944) kemudian melakukan penelitian tambahan pada lapangan golf dan melaporkan bahwa terdapat pengendalian gulma daun lebar secara selektif.
Singkatan populer 2,4-D pertama kali terlihat di dalam literatur tahun 1945 selama pertemuan tahunan kedua NCWCC (North Central Weed Control Conference) di St. Paul, Minnesota (Timmons, 1945). Data dari 30 cooperators dengan 140 penelitian yang dilaksanakan di Amerika Serikat dan 36 penelitian yang dilaksanakan di Canada telah dilaporkan.
Paten asli 2,4-D dan senyawa turunannya (US Patent Number 2,322,761) adalah sebagai zat pengatur tumbuh oleh John F. Lontz dan ditetapkan untuk E.I. du Pont de Nemours and Company tertanggal 29 Juni 1943 (Peterson, 1967). Franklin D. Jones dengan perusahaan Cat Kimia Amerika (ACPC) mencatat pada tanggal 20 Maret 1944 dan mendapatkan penggunaan paten 2,390,941 pada bulan Desember 1945 untuk 2,4-D sebagai herbisida. Pada bulan Juni 1945, ACPC memasarkan 2,4-D dengan nama dagang ”Weedone”, yang merupakan herbisida sistemik selektive pertama yang diproduksi dan terjual pada skala komersial.
Studi Toksisitas 2,4-D
Mitchell et al (1946) melaporkan bahwa perlakuan pada padang rumput dengan 2,4-D dengan duakali dosis normal tidak menyebabkan efek toksik pada domba dan sapi yang memakan rumput pakan tersebut, dan memberikan pakan pada sapi 5.5 gram 2,4-D murni per hari selama 3 bulan tidak menyebabkan efek terhadap sapi atau susunya. Kraus mengumumkan bahwa dia sudah memakan 0.5 gram 2,4-D per hari selama 3 minggu dan tidak ada pengaruhnya (Kephart, 1945).



Kecenderungan dalam Ilmu Gulma di abad ke- 21
1 . Peningkatan penggunaan Benih Padi dengan Sistem Tebar Langsung
Bangsa Asia mulai mengalami proses perubahan dalam sistem pertanaman karena semakin terbatasnya jumlah tenaga kerja untuk menyiangi gulma. Meningkatnya upah buruh telah menyebabkan perubahan sistem pertanaman dari transplanting menjadi sistem tanam langsung di beberapa negara di Asia Tenggara yang memiliki jumlah populasi penduduk sedikit dan upah buruh meningkat. Pergantian sistem ini berakibat buruk dan menyebabkan terjadinya masalah gulma.
Echinochloa spp. termasuk gulma tanaman padi dan tergolong ke dalam millenial weed pada tanaman padi yang tidak mempengaruhi sistem pertanaman di seluruh dunia. Gulma ini tidak selalu menjadi masalah. Tanaman padi yang banyak ditumbuhi oleh gulma akan menyebabkan lebih banyak masalah ketika dilakukan sistem tanam langsung dalam hubungannya dengan genetik, morfologi, dan kesamaan fenologi dengan padi lokal dan juga karakteristiknya yang mudah Echinochloa spp. termasuk gulma tanaman padi dan tergolong ke dalam millenial weed pada tanaman padi yang tidak mempengaruhi sistem pertanaman di seluruh dunia. Gulma ini tidak selalu menjadi masalah. Tanaman padi yang banyak ditumbuhi oleh gulma akan menyebabkan lebih banyak masalah ketika dilakukan sistem tanam langsung dalam hubungannya dengan genetik, morfologi, dan kesamaan fenologi dengan padi lokal dan juga karakteristiknya yang mudah
2. Meningkatnya Penggunaan Herbisida dan Kebutuhan akan Herbisida dengan Wacana Baru
Meskipun penyiangan secara manual adalah metode yang paling umum dikenal dalam usaha pengendalian gulma di kawasan ini, penggunaan herbisida tetap menjadi komponen penting dalam usaha pengendalian gulma. Penggunaan herbisida terus meningkat di beberapa negara di Asia. Hal tersebut disebabkan oleh adanya penggunaan varietas tanaman pangan yang berdaya hasil tinggi sehingga mendorong insentif secara ekonomi dengan cara mengurangi jumlah gulma yang ada dan tersedianya herbisida yang murah harganya. Penggunaan herbisida yang semakin meningkat pada tanaman padi sawah ternyata lebih murah 1-5 kalinya daripada ketika dilakukan penyiangan secara manual (di Illoilo-Filipina, Jawa Barat-Indonesia, dan Delta sungai Mekong-Vietnam).
3. Kebutuhan yang mendesak untuk Mengurangi Resiko dari Penggunaan Herbisida pada Ekosistem
Herbisida yang digunakan saat ini aman tidak berbahaya terhadap manusia dan hewan ternak, apabila pengunaannya tepat. Di sebagian kecil negara di kawasan Asia, penggunaan sulfonil urea yang dicampur dengan herbisida lain digunakan untuk mengatasi penyebaran yang luas dari gulma. Dosis sulfonil urea yang digunakan jauh lebih kecil dari kebanyakan herbisida tahunan lainnya, dan bahan aktif ini terus digunakan sebagai herbisida untuk membasmi gulma tanaman padi selama beberapa dekade ini. Bagaimanapun juga tetap ada tekanan untuk mengurangi resistensi gulma terhadap herbisida ini, karena terdapat efek residu yang memusnahkan tanaman lain, termasuk gulma Brasenia schreberi dan Sagittaria aginashi. Penggunaan sulfonil urea yang terus menerus akan menyebabkan terjadinya keragaman gulma. Lebih dari 600 000 juta dolar telah dihabiskan untuk memulihkan kondisi air yang tercemar oleh molinate dan thiobencarb di areal pertanaman padi di daerah California. Hal ini tentu saja mengejutkan masyarakat di Asia, karena sistem tanam padi berhubungan langsung dengan budidaya ikan. Selain itu air irigasi juga digunakan masyarakat untuk keperluan lain.

tugas ilmu gulma

 Sejarah Awal Perkembangan Ilmu Gulma
Gulma menjadi masalah sejak manusia mengusahakan pertanian. Gulma menyebabkan gangguan dan kerugian pada tanaman budidaya seperti halnya hama dan penyakit, namun gangguan akibat gulma timbulnya sedikit demi sedikit, tidak drastis atau spektakuler. Menurut Singh et al. (2005) upaya pengendalian gulma pada sistem produksi tanaman telah dilakukan oleh manusia seumur perkembangan pertanian itu sendiri. Gulma mendapat perhatian lebih besar di bidang fisiologi tumbuhan, sejak ditemukannya 2,4-D (asam 2,4- diklorofenoksiasetat) pada tahun 1940-an sebagai herbisida. Sebelum herbisida sintetis ditemukan pada tahun 1940-an, tidak ada pembagian disiplin ilmu gulma. Manajemen gulma dijadikan sebagai subdisiplin agronomi, dan sangat sedikit ilmuwan yang melakukan penelitian pada gulma dan pengendaliannya. Penemuan 2,4-D sebagai zat pengatur tumbuh (Zimmerman and Hitchock, 1942) dan catatan penggunaannya sebagai herbisida selektif (Hamner dan Tukey, 1944; Marth and Mitchell, 1944) telah mengawali proses penemuan dan komersialisasi herbisida sintetik baru yang memberikan dorongan terhadap ilmu gulma untuk menjadi disiplin tersendiri.
 Sejarah Penemuan 2,4-D
Pada akhir abad 19, ketika garam NaCl dan abu digunakan untuk mengendalikan gulma sepanjang pinggir jalan, herbisida selektif inorganik telah ditemukan dengan kebetulan di Perancis. Beberapa petani Perancis menyemprotkan bubur Bourdeaux untuk mengendalikan penyakit embun tepung (downy mildew) pada pertanaman anggur dan mereka mengamati bahwa beberapa drift yang jatuh dari larutan tersebut dapat membunuh gulma berdaun lebar yang ada di bawahnya. Akhirnya, komponen tembaga sulfat dalam bubur Bordeaux ditemukan sebagai agen pembunuh gulma. Terobosan nyata dalam pengendalian gulma dengan senyawa kimia selektif dihasilkan pada tahun 1945 dengan pengumuman secara simultan penemuan 2,4- D di Amerika dan MCPA di Inggris. Pada tahun 1935 di Amerika, Zimmerman dan Wilcoxson melaporkan bahwa phenilacetic acid dan naphthyl acetic acid (NAA) mencegah buah muda gugur, menginduksi perakaran, mempercepat pemasakan buah, dan menyebabkan tomat tanpa biji. Pada tahun 1941 di Inggris, ketika pelaksanaan penelitian pot pada pengaruh NAA sebagai zat pengatur tumbuh tanaman pada gandum, W.G. Templeman mendapatkan peluang bahwa NAA membunuh sedikit tanaman kubis liar (Brassica kaber) yang tumbuh sebagai gulma di pot gandum. Hal ini mendorong Templeman dan W.A Sexton pada Stasiun Penelitian Jealotts Hill untuk mencari beberapa zat pengatur tumbuh yang lebih potensial daripada NAA untuk pengendalian gulma berdaun lebar pada biji kecil. Hasil elaborasi penelitian akhirnya menghasilkan bahwa 2,4-D dan MCPA merupakan zat pengatur tumbuh yang potensial sebagai herbisida (Gupta, 2000). Pada tahun 1941 di Amerika Serikat, Pokorny untuk pertama kalinya mensintesis 2,4-dichloroacetic acid (2,4-D) dan 2,4,5-trichloroacetic acid (2,4,5-T).
 2,4-D sebagai Senjata Perang Biologi
Pengembangan herbisida organik telah difasilitasi secara besar selama.Perang Dunia II karena potensi militernya sebagai senjata biologi (Peterson, 1967). Setelah perang, program Camp Detrick diperluas sampai meliputi berbagai tipe respon pertumbuhan di dalam tanaman. Sintesis dan pemilihan (screening) dilanjutkan dan pengembangan prosedur untuk menguji aktivitas herbisida ditingkatkan. Penelitian Camp Detrick didukung oleh kontrak dengan universitas dan penelitian diinisiasi pada absisik dan giberelin. Pengguguran daun dan uji pelayuan daun untuk tanaman berkayu dilakukan selama periode 1961 -1972 dibawah pengawasan C.E. Minarik yang mendorong penggunaan secara militer
 Pengembangan 2,4-D secara Komersial sebagai Herbisida
Ilmuwan di Amerika Serikat (Marth dan Mitchel, 1944; Zimmerman dan Hitchcock, 1942) dan ilmuwan Inggris (Blackman, 1945; Slade et al, 1945) melanjutkan pekerjaan penelitian terbatas dengan 2,4-D selama Perang Dunia II. Penelitian di Inggris difokuskan pada pengembangan MCPA, yaitu herbisida mirip 2,4-D. MCPA disenangi di Inggris karena ketersediaan kresol yang melimpah yang diekstrak dari batubara dan digunakan untuk membuat MCPA versus ketersediaan phenol yang melimpah dari kilang minyak di Amerika, yang digunakan untuk membuat 2,4-D.
Pada bulan Juni 1994, Mitchell dan Hamner dengan United States Department of Agriculture (USDA) Biro Industri Tanaman di Beltsville, Maryland telah membuat pengumuman publikasi yang pertama tentang penggunaan 2,4-D sebagai herbisida yang menghambat pertumbuhan gulma (Marth dan Mitchell, 1944). Hamner dan Tukey (1944) menyebabkan pertimbangan publik tertarik ketika mereka melaporkan pada tahun 1944 bahwa dalam 10 hari setelah semprot dengan 2,4-D gulma mati. Peneliti Inggris sudah bekerja dengan MCPA, 2,4-D, dan zat pengatur tumbuh lain selama awal tahun 1940 tetapi menunda publikasi hasil penelitiannya sampai setelah Perang Dunia II (Blackman, 1945; Slade et al.,1945).


Marth dan Mitchel (1944) menyemprotkan 2,4-D pada lapangan rumput yang ditumbuhi gulma dandelion pada Beltsville, Maryland dan mendapatkan pengendalian gulma daun lebar secara selektive dengan tanpa kerusakan terhadap lapangan rumputnya. Mitchell et al. (1944) kemudian melakukan penelitian tambahan pada lapangan golf dan melaporkan bahwa terdapat pengendalian gulma daun lebar secara selektif.
Singkatan populer 2,4-D pertama kali terlihat di dalam literatur tahun 1945 selama pertemuan tahunan kedua NCWCC (North Central Weed Control Conference) di St. Paul, Minnesota (Timmons, 1945). Data dari 30 cooperators dengan 140 penelitian yang dilaksanakan di Amerika Serikat dan 36 penelitian yang dilaksanakan di Canada telah dilaporkan.
Paten asli 2,4-D dan senyawa turunannya (US Patent Number 2,322,761) adalah sebagai zat pengatur tumbuh oleh John F. Lontz dan ditetapkan untuk E.I. du Pont de Nemours and Company tertanggal 29 Juni 1943 (Peterson, 1967). Franklin D. Jones dengan perusahaan Cat Kimia Amerika (ACPC) mencatat pada tanggal 20 Maret 1944 dan mendapatkan penggunaan paten 2,390,941 pada bulan Desember 1945 untuk 2,4-D sebagai herbisida. Pada bulan Juni 1945, ACPC memasarkan 2,4-D dengan nama dagang ”Weedone”, yang merupakan herbisida sistemik selektive pertama yang diproduksi dan terjual pada skala komersial.
Studi Toksisitas 2,4-D
Mitchell et al (1946) melaporkan bahwa perlakuan pada padang rumput dengan 2,4-D dengan duakali dosis normal tidak menyebabkan efek toksik pada domba dan sapi yang memakan rumput pakan tersebut, dan memberikan pakan pada sapi 5.5 gram 2,4-D murni per hari selama 3 bulan tidak menyebabkan efek terhadap sapi atau susunya. Kraus mengumumkan bahwa dia sudah memakan 0.5 gram 2,4-D per hari selama 3 minggu dan tidak ada pengaruhnya (Kephart, 1945).



Kecenderungan dalam Ilmu Gulma di abad ke- 21
1 . Peningkatan penggunaan Benih Padi dengan Sistem Tebar Langsung
Bangsa Asia mulai mengalami proses perubahan dalam sistem pertanaman karena semakin terbatasnya jumlah tenaga kerja untuk menyiangi gulma. Meningkatnya upah buruh telah menyebabkan perubahan sistem pertanaman dari transplanting menjadi sistem tanam langsung di beberapa negara di Asia Tenggara yang memiliki jumlah populasi penduduk sedikit dan upah buruh meningkat. Pergantian sistem ini berakibat buruk dan menyebabkan terjadinya masalah gulma.
Echinochloa spp. termasuk gulma tanaman padi dan tergolong ke dalam millenial weed pada tanaman padi yang tidak mempengaruhi sistem pertanaman di seluruh dunia. Gulma ini tidak selalu menjadi masalah. Tanaman padi yang banyak ditumbuhi oleh gulma akan menyebabkan lebih banyak masalah ketika dilakukan sistem tanam langsung dalam hubungannya dengan genetik, morfologi, dan kesamaan fenologi dengan padi lokal dan juga karakteristiknya yang mudah Echinochloa spp. termasuk gulma tanaman padi dan tergolong ke dalam millenial weed pada tanaman padi yang tidak mempengaruhi sistem pertanaman di seluruh dunia. Gulma ini tidak selalu menjadi masalah. Tanaman padi yang banyak ditumbuhi oleh gulma akan menyebabkan lebih banyak masalah ketika dilakukan sistem tanam langsung dalam hubungannya dengan genetik, morfologi, dan kesamaan fenologi dengan padi lokal dan juga karakteristiknya yang mudah
2. Meningkatnya Penggunaan Herbisida dan Kebutuhan akan Herbisida dengan Wacana Baru
Meskipun penyiangan secara manual adalah metode yang paling umum dikenal dalam usaha pengendalian gulma di kawasan ini, penggunaan herbisida tetap menjadi komponen penting dalam usaha pengendalian gulma. Penggunaan herbisida terus meningkat di beberapa negara di Asia. Hal tersebut disebabkan oleh adanya penggunaan varietas tanaman pangan yang berdaya hasil tinggi sehingga mendorong insentif secara ekonomi dengan cara mengurangi jumlah gulma yang ada dan tersedianya herbisida yang murah harganya. Penggunaan herbisida yang semakin meningkat pada tanaman padi sawah ternyata lebih murah 1-5 kalinya daripada ketika dilakukan penyiangan secara manual (di Illoilo-Filipina, Jawa Barat-Indonesia, dan Delta sungai Mekong-Vietnam).
3. Kebutuhan yang mendesak untuk Mengurangi Resiko dari Penggunaan Herbisida pada Ekosistem
Herbisida yang digunakan saat ini aman tidak berbahaya terhadap manusia dan hewan ternak, apabila pengunaannya tepat. Di sebagian kecil negara di kawasan Asia, penggunaan sulfonil urea yang dicampur dengan herbisida lain digunakan untuk mengatasi penyebaran yang luas dari gulma. Dosis sulfonil urea yang digunakan jauh lebih kecil dari kebanyakan herbisida tahunan lainnya, dan bahan aktif ini terus digunakan sebagai herbisida untuk membasmi gulma tanaman padi selama beberapa dekade ini. Bagaimanapun juga tetap ada tekanan untuk mengurangi resistensi gulma terhadap herbisida ini, karena terdapat efek residu yang memusnahkan tanaman lain, termasuk gulma Brasenia schreberi dan Sagittaria aginashi. Penggunaan sulfonil urea yang terus menerus akan menyebabkan terjadinya keragaman gulma. Lebih dari 600 000 juta dolar telah dihabiskan untuk memulihkan kondisi air yang tercemar oleh molinate dan thiobencarb di areal pertanaman padi di daerah California. Hal ini tentu saja mengejutkan masyarakat di Asia, karena sistem tanam padi berhubungan langsung dengan budidaya ikan. Selain itu air irigasi juga digunakan masyarakat untuk keperluan lain.